ASAL MUASAL PENGGUNAAN KATA DEPAN LA DAN WA UNTUK NAMA MASYARAKAT DI JAZIRAH MUNA DAN BUTON
(Suatu pemikiran komparatif)
Oleh
Salnuddin
Prolog
Pada kesempatan ini saya akan menguraikan sedikit tentang asal muasal
penggunaan kata depan dari nama masyarakat di dua Jazirah (Muna dan
Buton). Tulisan ini semata-mata hanya mau menyampaikan apa yang
seharusnya generasi sekarang ketahui, meskipun tulisan ini adalah bagian
dari rahasia sistem penamaan di negeri Muna dan Buton. Rahasia dimaksud
bahwa pemaknaan sebenarnya mempunyai tanggungjawab bathin yang tinggi
bagi yang menggunakannya akibat pesan “ilmu” yang terkandung dalam kata
depan nama tersebut. Saya mencoba kemas uraian ini dengan menggunakan
pendektan ilmiah, meskipun dasar penerapannya menggunakan pendekatan
rahasia (tarekat) namun alur pikir mengaplikasikan metode justifikasi
sejarah.
Sudah lama informasi ini terkumpul sedikit demi sedikit dari berbagai
sumber tentang kata depan nama dari suku di Jazirah Muna dan Buton.
Informasi lisan yang cenderung terungkap melalui kalimat rahasia
(kabanthi) sekaligus menjadi sejarah lisan masyarakat secara bertahap
terungkap melalui diskusi sampai pada prosesi debat ditingkat para
solihin. Para solihin tersebut merupakan keturunan dari orang muna dan
atau buton namun lahir dan besar di negeri orang. Mulanya saya
menjadikannya sebagai bentuk informasi biasa, namun pada kondisi
sekarang banyak “orang negeri” yang tidak memahaminya. Dengan penuh rasa
hormat dan senantiasa berserah diri dan mohon ampunan dariNya saya
mencoba menyusun ulang upaya pencarian asal muasal nama depan tersebut
dengan kerangka berpikir yang relatif ilmiah. Relatif ilmiah saya maksud
adalah penggunaan justifikasi dalam penarikan kesimpulan. Adapun jika
ada dari orang muna dan buton yang terbuka waktu dan akal pikiran (ilmi)
yang berlapis keimanan untuk membuktikan secara akurat dari rangkaian
kerangka berpikir saya, maka hal tersebut menjadi khasanah yang lebih
baik.
Tulisan ini saya sengaja buat beberapa bagian dengan harapan adanya
tanggapan dari orang muna dan buton atau dari pihak manapun dalam
pelurusan pemahaman makna katanya. Untuk admin for muna, tolong diedit
hal hal dari tulisan ini yang sifatnya (berpotensi) menyinggung sara.
Semoga apa yang saudara sampaikan dan lakukan ini dijadikan amal jariah
oleh Allah SWT sekaligus diberi kesempatan untuk menyampaikan hal-hal
yang lebih mengenal diri kita. Amin
1. Kandungan Makna ‘La’ Untuk Laki-laki Dan ‘Wa’ Untuk Perempuan Pada Awal Nama Suku Muna Dan Buton
Kita masih mengingat apa yang dikatakan oleh Shacespeare “Apa Arti
Sebuah nama”, ungkapan tersebut tidak berlaku bagi kita yang menyatakan
diri mengakui Allah SWT sebagai rabbi dan Muhammad SAW sebagai rasulnya.
Hal tersebut diperlihatkan pada hadist Rasulullah Muhammad SAW tentang
pentingnya pemberian nama yang baik bagi anak-anak muslimin. Dengan hal
tersebut maka penyebutan nama untuk penduduk/keturunan masyarakat yang
berdiam di Jazirah Muna dan Buton menjadi bermakna lebih ganda dengan
menyimpan makna tertentu. Makna yang dimaksud adalah pesan dari tujuan
yang diharapkan orang tua mereka dalam menggapai hikmah dalam kehidupan.
Setiap kata adalah doa begitu ungkapan yang sering kita dengar. Jadi
apa makna ‘La’ dan ‘Wa’ pada suku Muna dan Buton? Berikut uraiannya :
A. Ungkapan kata La dan Wa untuk masyarakat Muna dan Buton telah
dipahami oleh sebagian besar masyarakat berasal dari kata “syahadat
thain” (Laillaha Illallah) dan diartikan La sebagai kesatuan dari
kalimat sahadat (bukan penggalan kata) dan untuk Wa bermakna yang sama
untuk kalimat sahadat rasul (Washaduanna Muhammad Darasulullah).
Dengan pemahaman tersebut menyebabkan RASA BANGGA melekat bagi mereka
yang menggunakan kata depan nama (La/Wa). Pemahaman konsep tersebut
dapat bernilai wajar manakala memang demikian adanya, namun minimal
penggunaan kata depan La/Wa menjadi pembeda dengan masyarakat lain di
nusantara ini bahkan pada skala dunia. Namun serangkain pemikiran
tersebut mengarahkan kita untuk berpikir (akal) dengan mempertimbangkan
rasa (bathin) untuk beberapa hal sebagai berikut :
1 Mengapa tingkatan kultural penyandang nama La/Wa berada pada tingkatan
lebih rendah dibandingkan dengan pengguna nama depan La/Wa+ode ??? Ada
makna esistensi kalimat sahadat menjadi kecil???,
2 Kenapa tingkatan kultural dengan nama depan La/Wa+ode yang dilekatkan
(satu kesatuan) dengan kalimat sahadat bukan kata La/Wa ???. Kalau
demikian darimana penambahan kata “Ode” (pengadopsian kata) dengan
menggunakan pemaknaan kalimat sahadat???.
3 Bagiamana pula nahu kata La (tidak/tiada) dalam kalimat sahadat ?
Yang mana kata La/Wa yang ditulis tersambung pada kalimat sahadat?
Sedangkan aplikasi kata La/Wa dalam penggunaannya nama masyarakat muna
dan buton dibuat terpisah atau tersambung dengan nama aslinya (misalnya
La Umar/Wa Ike atau Laumar/Waike)
Tiga pertanyaan diatas memberi rana berpikir kita untuk beranalisis,
bukankah ilmu tanpa agama menjadikan kita “goyang” sedangkan agama tanpa
ilmu menyebabkan kita menjadi “ambruk”. Semoga saja dua hal diatas
membuat kita menjadi manusia yang sebenarnya (memiliki ilmu dan iman).
Terkait dengan hal tersebut, pada aplikasinya penggunaan kata La/Wa
menujukkan fenomena yang lebih rancu, beberapa fenomena yang penulis
jumpai antara lain;
Kata La/Wa digunakan juga oleh masyarakat diwilayah lain di luar Jazirah
Muna dan Buton sebagaimana oleh Masyarakat Sangir Talaud, NTT/NTB dan
Kalimantan dan masih banyak lagi suku lain di Nusantara ini yang
menggunakan nama mereka dengan kata depan La/Wa. Bukti tersebut dapat
dilihat dari penggunaan marga dari tiap keluarga, kisah (epik) sejarah,
makam leluhur dll.
Hal yang unik lagi nama La/Wa khususnya kata depan La banyak
digunakan sebagai kata depan nama mereka yang berada di Piliphina,
Thailand bahkan orang-oarang di Italia dengan bukti yang sama dengan
point sebelumnya.
Dengan mencermati kondisi demikian apakah hal yang spesifik dari kata
La/Wa bagi orang Muna dan Buton???. Kalau mereka dikaitkan dengan
keagamaan yang mereka anut, mungkin saja dapat digeneralisasi bahwa bagi
yang beragama islam dapat disandangkan kata La/Wa pada mereka, dan
bagimana jika mereka tidak beraga islam ?.
2. Kajian dengan Pendekatan sejarah
Untuk mahami fenomena diatas maka perlu dilakukan denga pendekatan
sejarah. dari beberapa kajian tentang penggunaan nama depan nama
penduduk, memberi kesan yang sama bahwa keakrabatan dengan penuh rasa
hormat/takzim. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar penggunaan kata depan,
baik yang bersifat sementara ataupun bersifat tetap. Bersifat sementara
seperti sapaan “Mas” bagi orang Suku Jawa yang sebenarnya hanya sapaan
(bukan nama aslinya), sedangkan yang tetap seperti sapaan La/Wa (Muna
dan Buton), Cut/Tengku/Teuku (Aceh), Daeng/Andi (Makassar/Bugis).
Berdasarkan uraian sejarah dari beberapa sumber maka secara umum
sapaan La/Wa merupakan sapaan umum sebagaimana dengan kata “Abu” untuk
sapaan bagi anak orang–orang arab. Lebih jauh lagi, kata depan La/Wa
yang melekat pada nama mereka menggambarkan bahwa mereka bagian dari
pengaruh budaya suku daratan yang didominasi oleh pengaruh Kerajaan
Majapahit. Ini dapat terbukti pada akhir masa keemasan Kerajaan
Majapahit, dimana Pati Gajah Mada melakukan pelayaran ke wilayah timur.
Pada bagian lain sapaan yang bermakna sama untuk suku pelaut
menggunakan kata depan “Si”, Sapaan yang melekat pada nama mereka
banyak digunakan oleh suku sama (suku bajo). Berdasarkan sejarah suku
pelaut di negeri ini didominasi oleh kerajaan Sriwijaya. Dengan uraian
ini maka terbayanglah karakter masyarakat yang mendiami jazirah Muna dan
Buton termasuk bagaimana proses imperium dua kerajaan besar tersebut
termasuk peletakaan budaya di negeri baru (simak nama para raja sebelum
islam masuk di jazirah muna/buton).
3. Kenapa kata La dan Wa pada nama depan keturunan masyarakat Muna dan Buton masih digunakan?
Pada kenyataan sekarang telah banyak dari keturunan Orang Muna dan Buton
tidak lagi menggunakan nama depan mereka dengan kata La/Wa, sedangkan
kata depan dengan nama La/Wa + Ode makin dimunculkan. Tendensi ini bagi
penulis merupakan pemahaman masyarakat di jazirah Muna dan Buton tentang
kata tersebut tidak dipahami secara mendalam ataupun dalam pemahaman
lain bermakna sakrar (memang sakrar) dan cenderung “buta”.
Untuk hal diatas, terdapat makna bahwa kata La/Wa bukanlah satu
kesatuan dari kalimat sahadat, memang demikian yang penulis ingin
sampaikan tapi “Warisan Majapihit”. Namun keberlanjutan penggunaan kata
La/Wa bermakna lain sejak siar islam masuk. Pengadopsian kata La/Wa
oleh islam puncaknya terjadi saat kata depan La/Wa bersambung dengan
kata “ode”. Dengan memasukkan kata “ode” tersebut maka makna kata La/Wa
tidak bisa terlepas dengan sendi kehidupan di jazirah Muna dan Buton
sekaligus menghilangkan makna kata depan La/Wa sebagai warisan Majapahit
(budaya baru).
4. Kapan kata ode menjadi bagian dari nama depan orang Muna dan Buton.
LA Ode terbentuk dari dua kata dari filologi huruf arab. La adalah
singkatan kata Laillaha Illallah (jadi La bukan penggalan tapi simbolik
dari Lailallaha Ilallah) dengankan ODE adalah berarti bangsawan yang
ditemukan dalam literatur bahasa arab yang tua. La Ode artinya adalah
orang yang mulia atau terpuji di Depan Allah. Berangkat dari kata ini
maka hendaknya laah para bangsawan buton (anak-anakku) menjaga lidah,
dan semua indera. Karena awalnya La Ode itu tidak diberikan kepada anak
turunan HANYA DIBERIKAN KEPADA SULTAN TERPILIH. Kemudian terjadi
perubahan policy oleh siolimbona (sebelumnya 8 orang, kemudian untuk
mempermudah voting ditambah 1 orang lagi jadi 9/sio). Keputusan untuk
memberikan nama La Ode untuk anak turunan bangsawan buton adalah UNTUK
MELAKUKAN INDENTIFIKASI KEPADA ANAK TURUNAN PARA ANAK2 INI SIAPA TAU
DIKEMUDIAN HARI DITEMUKAN BIBIT KEPEMIMPINAN PADA DIRI MEREKA.
nulisan La Ode dgn Laode perlu saya tegaskan jelas berbeda. Kalau La ODe
artinya darah kebangsawanannya masih dianggap pantas. kalo laode maka
sesungguhnya garis turunannnya sudah dicoret dari daftar terpilih untuk
menjadi pemimpin di buton. Bisa juga gelar ini dicabut oleh Siolimbona
bila dianggap “si anak” ini telah durhaka terhadap kerajaannya.
Pada jaman dahulu ada suatu aturan tersndiri dalam lingkungan Kesultanan
Buton dimaa bila 3 turunan berturut2 kaum La Ode tidak melapor ke Buton
maka secara Otomatis kebangsawanannya dianggap dicoret atau dengan kata
lain tidak berhak memakai kata la Ode lagi tapi laode.
La Ode dalam proses identifikasi turunan ini menggunakan pakem garis patrilineal (garis ayah) bukan matrineal (garis ibu).
Penutup
Semoga apa yang ada ini menjadi pembuka hati kita untuk lebih tau
diri, silahkan ambil makna tersirat dan tersurat dan kita dapatkan makna
dan pesan dari para leluhur kita, bukankah orang baik dan ahli surga
itu didasrkan pada ilmu dan amal mereka dan bukan dari nama yang mereka
sandang???.
Ata dengan kata lain, pemaknaan kata La dan Wa dapat dipahami lebih
bijak sekaligus semakin mempererat kebersamaan yang utuh masyarakat
suku Muna dan Buton dalam lingkungan sosial yang heterogen. Marilah kita
menghargai budaya kita dengan tetap merasa bangga menjadi orang Muna
dan Buton yang tetap menggunakan nama depan La dan Wa.
“KEBINGUNAGAN ADALAH AWAL UNTUK MENCERMATI KEBENARAN”
5. Apa pesan dari kisah penggunaan kata La dan Wa didepan nama orang Muna dan Buton.
Kebenaran datangnya dari Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar