Foto-Foto

Foto-Foto
Kebudayaan Kerajaan Tiworo

Rabu, 02 Oktober 2013

Hal 4 MENGUAK SEJARAH TERLAHIRNYA KATA LAODE DAN WAODE BAGI MASYARAKAT JAZIRAH MUNA DAN BUTON

hal 4

hal 4

Hal 3 MENGUAK SEJARAH TERLAHIRNYA KATA LAODE DAN WAODE BAGI MASYARAKAT JAZIRAH MUNA DAN BUTON

hal 3

hal 3

Hal 2 MENGUAK SEJARAH TERLAHIRNYA KATA LAODE DAN WAODE BAGI MASYARAKAT JAZIRAH MUNA DAN BUTON

hal 2

hal 2

Hal 1 MENGUAK SEJARAH TERLAHIRNYA KATA LAODE DAN WAODE BAGI MASYARAKAT JAZIRAH MUNA DAN BUTON

Hal 1

Hal 1

KERIS DAN TOMBAK MEATU'U TIWORO LIYA

KERIS DAN TOMBAK MEATU'U TIWORO LIYA

Oleh : Ali Habiu


Meantu'u Tiworo adalah salah satu pembesar dimasa pemerintahan Raja Liya atau Lakina Liya berkuasa yang bertugas mengamankan dan mengatur semua hasil tanaman rakyat atau tanaman sara yang berada diwilayah pesisir pantai. Salah satu kesaktian dari Meantu,u Tiworo ini adalah berada pada keris dan tombaknya yang mana bila ada sanggila atau bajak laut menghampiri pantai Liya atau berada pada perairan pantai Liya maka tombak tersebut ditancapkan pada laut maka dengan kekuasaan Allah SWT semua orang-orang jahat atau sanggila yang berada pada kapal atau perahu yang berada perairan ditengah laut liya atau menghampiri pantai Liya pada meninggal dunia sehingga ketika dikunjungi kapal atau perahu tersebut tinggal mayat-mayat yang ditemukan bergelimpangan. Demikianlah kisah ini dituturkan oleh salah satu buyut keturunannya yang bernama Haji Muhammadi tinggal di desa Wote'a dalam lingkungan benteng Keraton Liya pada penulis pada tanggal 18 Maret 2010 lalu. Adapun keris, tombak yang memiliki kesaktian ini serta gendang (tamburu) masih utuh disimpan olehnya dan diperlihatkan kepada penulis untuk diambil gambarnya sebagai bukti sejarah begitu dasyatnya ilmu-ilmu para penatua orang-orang Liya pada zamannya itu.
Inilah Keris, Tombak dan Tamburu Meantu'u Tiworo
Diperkirakan Berusia 700 Tahun

ASAL MUASAL PENGGUNAAN KATA DEPAN LA DAN WA UNTUK NAMA MASYARAKAT DI JAZIRAH MUNA DAN BUTON

ASAL MUASAL PENGGUNAAN KATA DEPAN LA DAN WA UNTUK NAMA MASYARAKAT DI JAZIRAH MUNA DAN BUTON
(Suatu pemikiran komparatif)
Oleh
Salnuddin
Prolog
Pada kesempatan ini saya akan menguraikan sedikit tentang asal muasal penggunaan kata depan dari nama masyarakat di dua Jazirah (Muna dan Buton). Tulisan ini semata-mata hanya mau menyampaikan apa yang seharusnya generasi sekarang ketahui, meskipun tulisan ini adalah bagian dari rahasia sistem penamaan di negeri Muna dan Buton. Rahasia dimaksud bahwa pemaknaan sebenarnya mempunyai tanggungjawab bathin yang tinggi bagi yang menggunakannya akibat pesan “ilmu” yang terkandung dalam kata depan nama tersebut. Saya mencoba kemas uraian ini dengan menggunakan pendektan ilmiah, meskipun dasar penerapannya menggunakan pendekatan rahasia (tarekat) namun alur pikir mengaplikasikan metode justifikasi sejarah.
Sudah lama informasi ini terkumpul sedikit demi sedikit dari berbagai sumber tentang kata depan nama dari suku di Jazirah Muna dan Buton. Informasi lisan yang cenderung terungkap melalui kalimat rahasia (kabanthi) sekaligus menjadi sejarah lisan masyarakat secara bertahap terungkap melalui diskusi sampai pada prosesi debat ditingkat para solihin. Para solihin tersebut merupakan keturunan dari orang muna dan atau buton namun lahir dan besar di negeri orang. Mulanya saya menjadikannya sebagai bentuk informasi biasa, namun pada kondisi sekarang banyak “orang negeri” yang tidak memahaminya. Dengan penuh rasa hormat dan senantiasa berserah diri dan mohon ampunan dariNya saya mencoba menyusun ulang upaya pencarian asal muasal nama depan tersebut dengan kerangka berpikir yang relatif ilmiah. Relatif ilmiah saya maksud adalah penggunaan justifikasi dalam penarikan kesimpulan. Adapun jika ada dari orang muna dan buton yang terbuka waktu dan akal pikiran (ilmi) yang berlapis keimanan untuk membuktikan secara akurat dari rangkaian kerangka berpikir saya, maka hal tersebut menjadi khasanah yang lebih baik.
Tulisan ini saya sengaja buat beberapa bagian dengan harapan adanya tanggapan dari orang muna dan buton atau dari pihak manapun dalam pelurusan pemahaman makna katanya. Untuk admin for muna, tolong diedit hal hal dari tulisan ini yang sifatnya (berpotensi) menyinggung sara. Semoga apa yang saudara sampaikan dan lakukan ini dijadikan amal jariah oleh Allah SWT sekaligus diberi kesempatan untuk menyampaikan hal-hal yang lebih mengenal diri kita. Amin
1. Kandungan Makna ‘La’ Untuk Laki-laki Dan ‘Wa’ Untuk Perempuan Pada Awal Nama Suku Muna Dan Buton
Kita masih mengingat apa yang dikatakan oleh Shacespeare “Apa Arti Sebuah nama”, ungkapan tersebut tidak berlaku bagi kita yang menyatakan diri mengakui Allah SWT sebagai rabbi dan Muhammad SAW sebagai rasulnya. Hal tersebut diperlihatkan pada hadist Rasulullah Muhammad SAW tentang pentingnya pemberian nama yang baik bagi anak-anak muslimin. Dengan hal tersebut maka penyebutan nama untuk penduduk/keturunan masyarakat yang berdiam di Jazirah Muna dan Buton menjadi bermakna lebih ganda dengan menyimpan makna tertentu. Makna yang dimaksud adalah pesan dari tujuan yang diharapkan orang tua mereka dalam menggapai hikmah dalam kehidupan. Setiap kata adalah doa begitu ungkapan yang sering kita dengar. Jadi apa makna ‘La’ dan ‘Wa’ pada suku Muna dan Buton? Berikut uraiannya :
A. Ungkapan kata La dan Wa untuk masyarakat Muna dan Buton telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat berasal dari kata “syahadat thain” (Laillaha Illallah) dan diartikan La sebagai kesatuan dari kalimat sahadat (bukan penggalan kata) dan untuk Wa bermakna yang sama untuk kalimat sahadat rasul (Washaduanna Muhammad Darasulullah).
Dengan pemahaman tersebut menyebabkan RASA BANGGA melekat bagi mereka yang menggunakan kata depan nama (La/Wa). Pemahaman konsep tersebut dapat bernilai wajar manakala memang demikian adanya, namun minimal penggunaan kata depan La/Wa menjadi pembeda dengan masyarakat lain di nusantara ini bahkan pada skala dunia. Namun serangkain pemikiran tersebut mengarahkan kita untuk berpikir (akal) dengan mempertimbangkan rasa (bathin) untuk beberapa hal sebagai berikut :
1 Mengapa tingkatan kultural penyandang nama La/Wa berada pada tingkatan lebih rendah dibandingkan dengan pengguna nama depan La/Wa+ode ??? Ada makna esistensi kalimat sahadat menjadi kecil???,
2 Kenapa tingkatan kultural dengan nama depan La/Wa+ode yang dilekatkan (satu kesatuan) dengan kalimat sahadat bukan kata La/Wa ???. Kalau demikian darimana penambahan kata “Ode” (pengadopsian kata) dengan menggunakan pemaknaan kalimat sahadat???.
3 Bagiamana pula nahu kata La (tidak/tiada) dalam kalimat sahadat ? Yang mana kata La/Wa yang ditulis tersambung pada kalimat sahadat? Sedangkan aplikasi kata La/Wa dalam penggunaannya nama masyarakat muna dan buton dibuat terpisah atau tersambung dengan nama aslinya (misalnya La Umar/Wa Ike atau Laumar/Waike)
Tiga pertanyaan diatas memberi rana berpikir kita untuk beranalisis, bukankah ilmu tanpa agama menjadikan kita “goyang” sedangkan agama tanpa ilmu menyebabkan kita menjadi “ambruk”. Semoga saja dua hal diatas membuat kita menjadi manusia yang sebenarnya (memiliki ilmu dan iman).
Terkait dengan hal tersebut, pada aplikasinya penggunaan kata La/Wa menujukkan fenomena yang lebih rancu, beberapa fenomena yang penulis jumpai antara lain;
Kata La/Wa digunakan juga oleh masyarakat diwilayah lain di luar Jazirah Muna dan Buton sebagaimana oleh Masyarakat Sangir Talaud, NTT/NTB dan Kalimantan dan masih banyak lagi suku lain di Nusantara ini yang menggunakan nama mereka dengan kata depan La/Wa. Bukti tersebut dapat dilihat dari penggunaan marga dari tiap keluarga, kisah (epik) sejarah, makam leluhur dll.
Hal yang unik lagi nama La/Wa khususnya kata depan La banyak digunakan sebagai kata depan nama mereka yang berada di Piliphina, Thailand bahkan orang-oarang di Italia dengan bukti yang sama dengan point sebelumnya.
Dengan mencermati kondisi demikian apakah hal yang spesifik dari kata La/Wa bagi orang Muna dan Buton???. Kalau mereka dikaitkan dengan keagamaan yang mereka anut, mungkin saja dapat digeneralisasi bahwa bagi yang beragama islam dapat disandangkan kata La/Wa pada mereka, dan bagimana jika mereka tidak beraga islam ?.
2. Kajian dengan Pendekatan sejarah
Untuk mahami fenomena diatas maka perlu dilakukan denga pendekatan sejarah. dari beberapa kajian tentang penggunaan nama depan nama penduduk, memberi kesan yang sama bahwa keakrabatan dengan penuh rasa hormat/takzim. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar penggunaan kata depan, baik yang bersifat sementara ataupun bersifat tetap. Bersifat sementara seperti sapaan “Mas” bagi orang Suku Jawa yang sebenarnya hanya sapaan (bukan nama aslinya), sedangkan yang tetap seperti sapaan La/Wa (Muna dan Buton), Cut/Tengku/Teuku (Aceh), Daeng/Andi (Makassar/Bugis).
Berdasarkan uraian sejarah dari beberapa sumber maka secara umum sapaan La/Wa merupakan sapaan umum sebagaimana dengan kata “Abu” untuk sapaan bagi anak orang–orang arab. Lebih jauh lagi, kata depan La/Wa yang melekat pada nama mereka menggambarkan bahwa mereka bagian dari pengaruh budaya suku daratan yang didominasi oleh pengaruh Kerajaan Majapahit. Ini dapat terbukti pada akhir masa keemasan Kerajaan Majapahit, dimana Pati Gajah Mada melakukan pelayaran ke wilayah timur.
Pada bagian lain sapaan yang bermakna sama untuk suku pelaut menggunakan kata depan “Si”, Sapaan yang melekat pada nama mereka banyak digunakan oleh suku sama (suku bajo). Berdasarkan sejarah suku pelaut di negeri ini didominasi oleh kerajaan Sriwijaya. Dengan uraian ini maka terbayanglah karakter masyarakat yang mendiami jazirah Muna dan Buton termasuk bagaimana proses imperium dua kerajaan besar tersebut termasuk peletakaan budaya di negeri baru (simak nama para raja sebelum islam masuk di jazirah muna/buton).
3. Kenapa kata La dan Wa pada nama depan keturunan masyarakat Muna dan Buton masih digunakan?
Pada kenyataan sekarang telah banyak dari keturunan Orang Muna dan Buton tidak lagi menggunakan nama depan mereka dengan kata La/Wa, sedangkan kata depan dengan nama La/Wa + Ode makin dimunculkan. Tendensi ini bagi penulis merupakan pemahaman masyarakat di jazirah Muna dan Buton tentang kata tersebut tidak dipahami secara mendalam ataupun dalam pemahaman lain bermakna sakrar (memang sakrar) dan cenderung “buta”.
Untuk hal diatas, terdapat makna bahwa kata La/Wa bukanlah satu kesatuan dari kalimat sahadat, memang demikian yang penulis ingin sampaikan tapi “Warisan Majapihit”. Namun keberlanjutan penggunaan kata La/Wa bermakna lain sejak siar islam masuk. Pengadopsian kata La/Wa oleh islam puncaknya terjadi saat kata depan La/Wa bersambung dengan kata “ode”. Dengan memasukkan kata “ode” tersebut maka makna kata La/Wa tidak bisa terlepas dengan sendi kehidupan di jazirah Muna dan Buton sekaligus menghilangkan makna kata depan La/Wa sebagai warisan Majapahit (budaya baru).
4. Kapan kata ode menjadi bagian dari nama depan orang Muna dan Buton.
LA Ode terbentuk dari dua kata dari filologi huruf arab. La adalah singkatan kata Laillaha Illallah (jadi La bukan penggalan tapi simbolik dari Lailallaha Ilallah) dengankan ODE adalah berarti bangsawan yang ditemukan dalam literatur bahasa arab yang tua. La Ode artinya adalah orang yang mulia atau terpuji di Depan Allah. Berangkat dari kata ini maka hendaknya laah para bangsawan buton (anak-anakku) menjaga lidah, dan semua indera. Karena awalnya La Ode itu tidak diberikan kepada anak turunan HANYA DIBERIKAN KEPADA SULTAN TERPILIH. Kemudian terjadi perubahan policy oleh siolimbona (sebelumnya 8 orang, kemudian untuk mempermudah voting ditambah 1 orang lagi jadi 9/sio). Keputusan untuk memberikan nama La Ode untuk anak turunan bangsawan buton adalah UNTUK MELAKUKAN INDENTIFIKASI KEPADA ANAK TURUNAN PARA ANAK2 INI SIAPA TAU DIKEMUDIAN HARI DITEMUKAN BIBIT KEPEMIMPINAN PADA DIRI MEREKA.
nulisan La Ode dgn Laode perlu saya tegaskan jelas berbeda. Kalau La ODe artinya darah kebangsawanannya masih dianggap pantas. kalo laode maka sesungguhnya garis turunannnya sudah dicoret dari daftar terpilih untuk menjadi pemimpin di buton. Bisa juga gelar ini dicabut oleh Siolimbona bila dianggap “si anak” ini telah durhaka terhadap kerajaannya.
Pada jaman dahulu ada suatu aturan tersndiri dalam lingkungan Kesultanan Buton dimaa bila 3 turunan berturut2 kaum La Ode tidak melapor ke Buton maka secara Otomatis kebangsawanannya dianggap dicoret atau dengan kata lain tidak berhak memakai kata la Ode lagi tapi laode.
La Ode dalam proses identifikasi turunan ini menggunakan pakem garis patrilineal (garis ayah) bukan matrineal (garis ibu).
Penutup
Semoga apa yang ada ini menjadi pembuka hati kita untuk lebih tau diri, silahkan ambil makna tersirat dan tersurat dan kita dapatkan makna dan pesan dari para leluhur kita, bukankah orang baik dan ahli surga itu didasrkan pada ilmu dan amal mereka dan bukan dari nama yang mereka sandang???.
Ata dengan kata lain, pemaknaan kata La dan Wa dapat dipahami lebih bijak sekaligus semakin mempererat kebersamaan yang utuh masyarakat suku Muna dan Buton dalam lingkungan sosial yang heterogen. Marilah kita menghargai budaya kita dengan tetap merasa bangga menjadi orang Muna dan Buton yang tetap menggunakan nama depan La dan Wa.
“KEBINGUNAGAN ADALAH AWAL UNTUK MENCERMATI KEBENARAN”

5. Apa pesan dari kisah penggunaan kata La dan Wa didepan nama orang Muna dan Buton.
Kebenaran datangnya dari Allah

Konsep Adat Masyarakat Tiworo Kabupaten Muna Sultra

Pelaksanaan perkawinan di tiworo daratan memakai sistem adat muna, sedangkan untuk tiworo pesisir dan pulau menggunakan sistem adat islam, Karena pada dasarnya tiworo merupakan kerajaan islam. Jadi tiworo daratan nilai adat ditentukan dengan bhoka sedangan di kepulauan ditentukan dengan real.
PERKAWINAN DI TIWORO DARATAN
Tiworo daratan sama dengan adat muna jadi perkawinan dibagi dalam beberapa bahagian:
1.Kaumu ( Perkawinan antara Bangsawan dengan nilai adat 20 bhoka, untuk nilai 1 bhoka = Rp. 24.000,-)
2.Walaka (Perkawinan antar non bangsawan yang memangku jabatan sara’ , dengan nilai 10 bhoka 10 suku, 1 suku = Rp. 5.000,-)
3.Walaka-kaumu (15 boka)
4.Fitu Bengkau (Perkawinan maradika, 7 bhoka 2 suku)
5.Kodasano (Perkawinan adat terendah dengan nilai bhoka 3 bhoka 2 suku).
Kalau Terjadi perkawinan silang antara Kaumu dengan walaka :
- Pria dari kaumu perempuan walaka Maharnya tetap menggunakan mahar Kaumu (20 Bhoka)
- Pria Dari walaka Perempuan Kaumu maharnya 35 bhoka.
Kalau terjadi Perkawinan silang antara kaumu dengan fitu bengkau :
a. Pria dari Kaumu Perempuan Fitu bengkau, maka mahar yang digunakan adalah mahar kaumu (20 Bhoka).
b. Pria Fitu Bengkau Perempuan Kaumu ( Nefowanu Kamponisa ), jadi maharnya 75 bhoka.
Bila Terjadi perkawinan silang antara walaka dengan Fitu bengkau :
a. Pria dari Walaka perempuan fitu bengkau (10 bhoka 10 suku)-mahar yang digunakan mahar walaka.
b. Pria dari fitu bengkau perempuan walaka maka maharnya menjadi 35 bhoka.
c.Pria dari kodasano perempuan walaka maharnya menjadi 75 bhoka
PERKAWINAN DI TIWORO KEPULAUAN
Suku Bajo
1.bangsawan (lolo bajo), Nilai mahar 88 real
2.Golongan menengah (umum/sama), nilai mahar 44 real
3. Golongan Terendah, nilai mahar 22 real
Bila terjadi perkawinan silang antara lolo bajo dengan gol. Menengah
a. pria lolo bajo perempuan sama = mengikuti mahar sama 44 real
b. Pria Sama perempuan lolo bajo = 88 real + milli tingkolo / membeli kedudukan (tergantung kesepakatan,pada umumnya adalah emas)
Bila terjadi perkawinan silang antara lolo bajo dengan golongan terendah
a. pria lolo bajo perempuan gol. rendah= 22 real
b. pria gol. Rendah perempuan lolo bajo = mahar 88 real + denda (pada umumnya denda berupa tempat tidur 1 set)
Bila terjadi perkawinan silang antara sama dengan golongan rendah :
a. Pria sama perempuan golongan rendah : mengikuti mahar pada perempuan
b. Pria gol.rendah perempuan sama : tetap mengikuti mahar perempuan