Foto-Foto

Foto-Foto
Kebudayaan Kerajaan Tiworo

Rabu, 02 Oktober 2013

Hal 4 MENGUAK SEJARAH TERLAHIRNYA KATA LAODE DAN WAODE BAGI MASYARAKAT JAZIRAH MUNA DAN BUTON

hal 4

hal 4

Hal 3 MENGUAK SEJARAH TERLAHIRNYA KATA LAODE DAN WAODE BAGI MASYARAKAT JAZIRAH MUNA DAN BUTON

hal 3

hal 3

Hal 2 MENGUAK SEJARAH TERLAHIRNYA KATA LAODE DAN WAODE BAGI MASYARAKAT JAZIRAH MUNA DAN BUTON

hal 2

hal 2

Hal 1 MENGUAK SEJARAH TERLAHIRNYA KATA LAODE DAN WAODE BAGI MASYARAKAT JAZIRAH MUNA DAN BUTON

Hal 1

Hal 1

KERIS DAN TOMBAK MEATU'U TIWORO LIYA

KERIS DAN TOMBAK MEATU'U TIWORO LIYA

Oleh : Ali Habiu


Meantu'u Tiworo adalah salah satu pembesar dimasa pemerintahan Raja Liya atau Lakina Liya berkuasa yang bertugas mengamankan dan mengatur semua hasil tanaman rakyat atau tanaman sara yang berada diwilayah pesisir pantai. Salah satu kesaktian dari Meantu,u Tiworo ini adalah berada pada keris dan tombaknya yang mana bila ada sanggila atau bajak laut menghampiri pantai Liya atau berada pada perairan pantai Liya maka tombak tersebut ditancapkan pada laut maka dengan kekuasaan Allah SWT semua orang-orang jahat atau sanggila yang berada pada kapal atau perahu yang berada perairan ditengah laut liya atau menghampiri pantai Liya pada meninggal dunia sehingga ketika dikunjungi kapal atau perahu tersebut tinggal mayat-mayat yang ditemukan bergelimpangan. Demikianlah kisah ini dituturkan oleh salah satu buyut keturunannya yang bernama Haji Muhammadi tinggal di desa Wote'a dalam lingkungan benteng Keraton Liya pada penulis pada tanggal 18 Maret 2010 lalu. Adapun keris, tombak yang memiliki kesaktian ini serta gendang (tamburu) masih utuh disimpan olehnya dan diperlihatkan kepada penulis untuk diambil gambarnya sebagai bukti sejarah begitu dasyatnya ilmu-ilmu para penatua orang-orang Liya pada zamannya itu.
Inilah Keris, Tombak dan Tamburu Meantu'u Tiworo
Diperkirakan Berusia 700 Tahun

ASAL MUASAL PENGGUNAAN KATA DEPAN LA DAN WA UNTUK NAMA MASYARAKAT DI JAZIRAH MUNA DAN BUTON

ASAL MUASAL PENGGUNAAN KATA DEPAN LA DAN WA UNTUK NAMA MASYARAKAT DI JAZIRAH MUNA DAN BUTON
(Suatu pemikiran komparatif)
Oleh
Salnuddin
Prolog
Pada kesempatan ini saya akan menguraikan sedikit tentang asal muasal penggunaan kata depan dari nama masyarakat di dua Jazirah (Muna dan Buton). Tulisan ini semata-mata hanya mau menyampaikan apa yang seharusnya generasi sekarang ketahui, meskipun tulisan ini adalah bagian dari rahasia sistem penamaan di negeri Muna dan Buton. Rahasia dimaksud bahwa pemaknaan sebenarnya mempunyai tanggungjawab bathin yang tinggi bagi yang menggunakannya akibat pesan “ilmu” yang terkandung dalam kata depan nama tersebut. Saya mencoba kemas uraian ini dengan menggunakan pendektan ilmiah, meskipun dasar penerapannya menggunakan pendekatan rahasia (tarekat) namun alur pikir mengaplikasikan metode justifikasi sejarah.
Sudah lama informasi ini terkumpul sedikit demi sedikit dari berbagai sumber tentang kata depan nama dari suku di Jazirah Muna dan Buton. Informasi lisan yang cenderung terungkap melalui kalimat rahasia (kabanthi) sekaligus menjadi sejarah lisan masyarakat secara bertahap terungkap melalui diskusi sampai pada prosesi debat ditingkat para solihin. Para solihin tersebut merupakan keturunan dari orang muna dan atau buton namun lahir dan besar di negeri orang. Mulanya saya menjadikannya sebagai bentuk informasi biasa, namun pada kondisi sekarang banyak “orang negeri” yang tidak memahaminya. Dengan penuh rasa hormat dan senantiasa berserah diri dan mohon ampunan dariNya saya mencoba menyusun ulang upaya pencarian asal muasal nama depan tersebut dengan kerangka berpikir yang relatif ilmiah. Relatif ilmiah saya maksud adalah penggunaan justifikasi dalam penarikan kesimpulan. Adapun jika ada dari orang muna dan buton yang terbuka waktu dan akal pikiran (ilmi) yang berlapis keimanan untuk membuktikan secara akurat dari rangkaian kerangka berpikir saya, maka hal tersebut menjadi khasanah yang lebih baik.
Tulisan ini saya sengaja buat beberapa bagian dengan harapan adanya tanggapan dari orang muna dan buton atau dari pihak manapun dalam pelurusan pemahaman makna katanya. Untuk admin for muna, tolong diedit hal hal dari tulisan ini yang sifatnya (berpotensi) menyinggung sara. Semoga apa yang saudara sampaikan dan lakukan ini dijadikan amal jariah oleh Allah SWT sekaligus diberi kesempatan untuk menyampaikan hal-hal yang lebih mengenal diri kita. Amin
1. Kandungan Makna ‘La’ Untuk Laki-laki Dan ‘Wa’ Untuk Perempuan Pada Awal Nama Suku Muna Dan Buton
Kita masih mengingat apa yang dikatakan oleh Shacespeare “Apa Arti Sebuah nama”, ungkapan tersebut tidak berlaku bagi kita yang menyatakan diri mengakui Allah SWT sebagai rabbi dan Muhammad SAW sebagai rasulnya. Hal tersebut diperlihatkan pada hadist Rasulullah Muhammad SAW tentang pentingnya pemberian nama yang baik bagi anak-anak muslimin. Dengan hal tersebut maka penyebutan nama untuk penduduk/keturunan masyarakat yang berdiam di Jazirah Muna dan Buton menjadi bermakna lebih ganda dengan menyimpan makna tertentu. Makna yang dimaksud adalah pesan dari tujuan yang diharapkan orang tua mereka dalam menggapai hikmah dalam kehidupan. Setiap kata adalah doa begitu ungkapan yang sering kita dengar. Jadi apa makna ‘La’ dan ‘Wa’ pada suku Muna dan Buton? Berikut uraiannya :
A. Ungkapan kata La dan Wa untuk masyarakat Muna dan Buton telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat berasal dari kata “syahadat thain” (Laillaha Illallah) dan diartikan La sebagai kesatuan dari kalimat sahadat (bukan penggalan kata) dan untuk Wa bermakna yang sama untuk kalimat sahadat rasul (Washaduanna Muhammad Darasulullah).
Dengan pemahaman tersebut menyebabkan RASA BANGGA melekat bagi mereka yang menggunakan kata depan nama (La/Wa). Pemahaman konsep tersebut dapat bernilai wajar manakala memang demikian adanya, namun minimal penggunaan kata depan La/Wa menjadi pembeda dengan masyarakat lain di nusantara ini bahkan pada skala dunia. Namun serangkain pemikiran tersebut mengarahkan kita untuk berpikir (akal) dengan mempertimbangkan rasa (bathin) untuk beberapa hal sebagai berikut :
1 Mengapa tingkatan kultural penyandang nama La/Wa berada pada tingkatan lebih rendah dibandingkan dengan pengguna nama depan La/Wa+ode ??? Ada makna esistensi kalimat sahadat menjadi kecil???,
2 Kenapa tingkatan kultural dengan nama depan La/Wa+ode yang dilekatkan (satu kesatuan) dengan kalimat sahadat bukan kata La/Wa ???. Kalau demikian darimana penambahan kata “Ode” (pengadopsian kata) dengan menggunakan pemaknaan kalimat sahadat???.
3 Bagiamana pula nahu kata La (tidak/tiada) dalam kalimat sahadat ? Yang mana kata La/Wa yang ditulis tersambung pada kalimat sahadat? Sedangkan aplikasi kata La/Wa dalam penggunaannya nama masyarakat muna dan buton dibuat terpisah atau tersambung dengan nama aslinya (misalnya La Umar/Wa Ike atau Laumar/Waike)
Tiga pertanyaan diatas memberi rana berpikir kita untuk beranalisis, bukankah ilmu tanpa agama menjadikan kita “goyang” sedangkan agama tanpa ilmu menyebabkan kita menjadi “ambruk”. Semoga saja dua hal diatas membuat kita menjadi manusia yang sebenarnya (memiliki ilmu dan iman).
Terkait dengan hal tersebut, pada aplikasinya penggunaan kata La/Wa menujukkan fenomena yang lebih rancu, beberapa fenomena yang penulis jumpai antara lain;
Kata La/Wa digunakan juga oleh masyarakat diwilayah lain di luar Jazirah Muna dan Buton sebagaimana oleh Masyarakat Sangir Talaud, NTT/NTB dan Kalimantan dan masih banyak lagi suku lain di Nusantara ini yang menggunakan nama mereka dengan kata depan La/Wa. Bukti tersebut dapat dilihat dari penggunaan marga dari tiap keluarga, kisah (epik) sejarah, makam leluhur dll.
Hal yang unik lagi nama La/Wa khususnya kata depan La banyak digunakan sebagai kata depan nama mereka yang berada di Piliphina, Thailand bahkan orang-oarang di Italia dengan bukti yang sama dengan point sebelumnya.
Dengan mencermati kondisi demikian apakah hal yang spesifik dari kata La/Wa bagi orang Muna dan Buton???. Kalau mereka dikaitkan dengan keagamaan yang mereka anut, mungkin saja dapat digeneralisasi bahwa bagi yang beragama islam dapat disandangkan kata La/Wa pada mereka, dan bagimana jika mereka tidak beraga islam ?.
2. Kajian dengan Pendekatan sejarah
Untuk mahami fenomena diatas maka perlu dilakukan denga pendekatan sejarah. dari beberapa kajian tentang penggunaan nama depan nama penduduk, memberi kesan yang sama bahwa keakrabatan dengan penuh rasa hormat/takzim. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar penggunaan kata depan, baik yang bersifat sementara ataupun bersifat tetap. Bersifat sementara seperti sapaan “Mas” bagi orang Suku Jawa yang sebenarnya hanya sapaan (bukan nama aslinya), sedangkan yang tetap seperti sapaan La/Wa (Muna dan Buton), Cut/Tengku/Teuku (Aceh), Daeng/Andi (Makassar/Bugis).
Berdasarkan uraian sejarah dari beberapa sumber maka secara umum sapaan La/Wa merupakan sapaan umum sebagaimana dengan kata “Abu” untuk sapaan bagi anak orang–orang arab. Lebih jauh lagi, kata depan La/Wa yang melekat pada nama mereka menggambarkan bahwa mereka bagian dari pengaruh budaya suku daratan yang didominasi oleh pengaruh Kerajaan Majapahit. Ini dapat terbukti pada akhir masa keemasan Kerajaan Majapahit, dimana Pati Gajah Mada melakukan pelayaran ke wilayah timur.
Pada bagian lain sapaan yang bermakna sama untuk suku pelaut menggunakan kata depan “Si”, Sapaan yang melekat pada nama mereka banyak digunakan oleh suku sama (suku bajo). Berdasarkan sejarah suku pelaut di negeri ini didominasi oleh kerajaan Sriwijaya. Dengan uraian ini maka terbayanglah karakter masyarakat yang mendiami jazirah Muna dan Buton termasuk bagaimana proses imperium dua kerajaan besar tersebut termasuk peletakaan budaya di negeri baru (simak nama para raja sebelum islam masuk di jazirah muna/buton).
3. Kenapa kata La dan Wa pada nama depan keturunan masyarakat Muna dan Buton masih digunakan?
Pada kenyataan sekarang telah banyak dari keturunan Orang Muna dan Buton tidak lagi menggunakan nama depan mereka dengan kata La/Wa, sedangkan kata depan dengan nama La/Wa + Ode makin dimunculkan. Tendensi ini bagi penulis merupakan pemahaman masyarakat di jazirah Muna dan Buton tentang kata tersebut tidak dipahami secara mendalam ataupun dalam pemahaman lain bermakna sakrar (memang sakrar) dan cenderung “buta”.
Untuk hal diatas, terdapat makna bahwa kata La/Wa bukanlah satu kesatuan dari kalimat sahadat, memang demikian yang penulis ingin sampaikan tapi “Warisan Majapihit”. Namun keberlanjutan penggunaan kata La/Wa bermakna lain sejak siar islam masuk. Pengadopsian kata La/Wa oleh islam puncaknya terjadi saat kata depan La/Wa bersambung dengan kata “ode”. Dengan memasukkan kata “ode” tersebut maka makna kata La/Wa tidak bisa terlepas dengan sendi kehidupan di jazirah Muna dan Buton sekaligus menghilangkan makna kata depan La/Wa sebagai warisan Majapahit (budaya baru).
4. Kapan kata ode menjadi bagian dari nama depan orang Muna dan Buton.
LA Ode terbentuk dari dua kata dari filologi huruf arab. La adalah singkatan kata Laillaha Illallah (jadi La bukan penggalan tapi simbolik dari Lailallaha Ilallah) dengankan ODE adalah berarti bangsawan yang ditemukan dalam literatur bahasa arab yang tua. La Ode artinya adalah orang yang mulia atau terpuji di Depan Allah. Berangkat dari kata ini maka hendaknya laah para bangsawan buton (anak-anakku) menjaga lidah, dan semua indera. Karena awalnya La Ode itu tidak diberikan kepada anak turunan HANYA DIBERIKAN KEPADA SULTAN TERPILIH. Kemudian terjadi perubahan policy oleh siolimbona (sebelumnya 8 orang, kemudian untuk mempermudah voting ditambah 1 orang lagi jadi 9/sio). Keputusan untuk memberikan nama La Ode untuk anak turunan bangsawan buton adalah UNTUK MELAKUKAN INDENTIFIKASI KEPADA ANAK TURUNAN PARA ANAK2 INI SIAPA TAU DIKEMUDIAN HARI DITEMUKAN BIBIT KEPEMIMPINAN PADA DIRI MEREKA.
nulisan La Ode dgn Laode perlu saya tegaskan jelas berbeda. Kalau La ODe artinya darah kebangsawanannya masih dianggap pantas. kalo laode maka sesungguhnya garis turunannnya sudah dicoret dari daftar terpilih untuk menjadi pemimpin di buton. Bisa juga gelar ini dicabut oleh Siolimbona bila dianggap “si anak” ini telah durhaka terhadap kerajaannya.
Pada jaman dahulu ada suatu aturan tersndiri dalam lingkungan Kesultanan Buton dimaa bila 3 turunan berturut2 kaum La Ode tidak melapor ke Buton maka secara Otomatis kebangsawanannya dianggap dicoret atau dengan kata lain tidak berhak memakai kata la Ode lagi tapi laode.
La Ode dalam proses identifikasi turunan ini menggunakan pakem garis patrilineal (garis ayah) bukan matrineal (garis ibu).
Penutup
Semoga apa yang ada ini menjadi pembuka hati kita untuk lebih tau diri, silahkan ambil makna tersirat dan tersurat dan kita dapatkan makna dan pesan dari para leluhur kita, bukankah orang baik dan ahli surga itu didasrkan pada ilmu dan amal mereka dan bukan dari nama yang mereka sandang???.
Ata dengan kata lain, pemaknaan kata La dan Wa dapat dipahami lebih bijak sekaligus semakin mempererat kebersamaan yang utuh masyarakat suku Muna dan Buton dalam lingkungan sosial yang heterogen. Marilah kita menghargai budaya kita dengan tetap merasa bangga menjadi orang Muna dan Buton yang tetap menggunakan nama depan La dan Wa.
“KEBINGUNAGAN ADALAH AWAL UNTUK MENCERMATI KEBENARAN”

5. Apa pesan dari kisah penggunaan kata La dan Wa didepan nama orang Muna dan Buton.
Kebenaran datangnya dari Allah

Konsep Adat Masyarakat Tiworo Kabupaten Muna Sultra

Pelaksanaan perkawinan di tiworo daratan memakai sistem adat muna, sedangkan untuk tiworo pesisir dan pulau menggunakan sistem adat islam, Karena pada dasarnya tiworo merupakan kerajaan islam. Jadi tiworo daratan nilai adat ditentukan dengan bhoka sedangan di kepulauan ditentukan dengan real.
PERKAWINAN DI TIWORO DARATAN
Tiworo daratan sama dengan adat muna jadi perkawinan dibagi dalam beberapa bahagian:
1.Kaumu ( Perkawinan antara Bangsawan dengan nilai adat 20 bhoka, untuk nilai 1 bhoka = Rp. 24.000,-)
2.Walaka (Perkawinan antar non bangsawan yang memangku jabatan sara’ , dengan nilai 10 bhoka 10 suku, 1 suku = Rp. 5.000,-)
3.Walaka-kaumu (15 boka)
4.Fitu Bengkau (Perkawinan maradika, 7 bhoka 2 suku)
5.Kodasano (Perkawinan adat terendah dengan nilai bhoka 3 bhoka 2 suku).
Kalau Terjadi perkawinan silang antara Kaumu dengan walaka :
- Pria dari kaumu perempuan walaka Maharnya tetap menggunakan mahar Kaumu (20 Bhoka)
- Pria Dari walaka Perempuan Kaumu maharnya 35 bhoka.
Kalau terjadi Perkawinan silang antara kaumu dengan fitu bengkau :
a. Pria dari Kaumu Perempuan Fitu bengkau, maka mahar yang digunakan adalah mahar kaumu (20 Bhoka).
b. Pria Fitu Bengkau Perempuan Kaumu ( Nefowanu Kamponisa ), jadi maharnya 75 bhoka.
Bila Terjadi perkawinan silang antara walaka dengan Fitu bengkau :
a. Pria dari Walaka perempuan fitu bengkau (10 bhoka 10 suku)-mahar yang digunakan mahar walaka.
b. Pria dari fitu bengkau perempuan walaka maka maharnya menjadi 35 bhoka.
c.Pria dari kodasano perempuan walaka maharnya menjadi 75 bhoka
PERKAWINAN DI TIWORO KEPULAUAN
Suku Bajo
1.bangsawan (lolo bajo), Nilai mahar 88 real
2.Golongan menengah (umum/sama), nilai mahar 44 real
3. Golongan Terendah, nilai mahar 22 real
Bila terjadi perkawinan silang antara lolo bajo dengan gol. Menengah
a. pria lolo bajo perempuan sama = mengikuti mahar sama 44 real
b. Pria Sama perempuan lolo bajo = 88 real + milli tingkolo / membeli kedudukan (tergantung kesepakatan,pada umumnya adalah emas)
Bila terjadi perkawinan silang antara lolo bajo dengan golongan terendah
a. pria lolo bajo perempuan gol. rendah= 22 real
b. pria gol. Rendah perempuan lolo bajo = mahar 88 real + denda (pada umumnya denda berupa tempat tidur 1 set)
Bila terjadi perkawinan silang antara sama dengan golongan rendah :
a. Pria sama perempuan golongan rendah : mengikuti mahar pada perempuan
b. Pria gol.rendah perempuan sama : tetap mengikuti mahar perempuan

Sabtu, 07 September 2013

SULAWESI TENGGARA - Kerajaan di Sulawesi Tenggara Kerajaan Muna

SULAWESI TENGGARA - Kerajaan di Sulawesi Tenggara Kerajaan Muna

SULAWESI TENGGARA Kerajaan di Sulawesi Tenggara
Kerajaan Muna

 Muna pada asalnya dikenal dengan WUNA (bunga) yang menberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana
terdapatnya gugusan batu yang berbunga seakan-akan batu karang yang ditumbuhi rumput laut.
Nama Wuna kini ditukar dengan Muna dan menjadi daerah dalam Propinsi Sulawesi Tenggara, sebagaimana nama asli suku Muna dan Pulau Muna. Namun, kata "Wuna" itu lama kelamaan diucapkan dan ditulis menjadi "Muna" dalam laporan dan bahasa resmi.
Wuna dalam bahasa Muna berarti bunga. Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang sewaktu- waktu ditumbuhi sejenis rambut karang menyerupai bunga.
Kota Muna terletak sekitar 25 kilometer dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sekarang.
Daratan Pulau Muna memang hampir didominasi batu karang. Bukit batu (yang sering) berbunga itu disebut "Bahutara" yang diartikan sebagai bahtera. Hal itu terkait dengan tradisi lisan yang menyebutkan bahwa di tempat itulah perahu "Sawerigading" tokoh asal Bugis Sulawesi Selatan yang melegenda, terdampar setelah menabrak/rempuh batu karang. Para pengikut Sawegading sebanyak 40 orang dari Luwu, Sulsel, kemudian terpencar ke berbagai tempat, sebagian membuat koloni di Muna, dan lainnya ke Konawe di Jazirah Sulawesi Tenggara.Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa kekuasaan LAKILAPONTO sebagai Raja Muna VII (1538- 1541) mulailah dibangun pusat kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Pembuatan benteng yang mengelilingi Kota Wuna merupakan prestasi besar yang dihasilkan pemerintahan raja tersebut.

Setelah LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan Buton, pembangunan Kota Wuna dilanjutkan penggantinya, La POSASU,
adik LAKILAMPO. Pertabalan LAKILAPONTO sebagai Sultan Buton merupakan hadiah dari Sultan yang sedang berkuasa
atas keberhasilan Raja Muna itu mengalahkan dan membunuh bajak laut La Bolontio, pengacau keamanan rakyat Buton.
Setelah menjadi Pemimpin Buton dan kemudian bergelar Sultan Murhum, menyusul diterimanya Islam sebagai agama
resmi Kerajaan, LAKILAPONTO mengadakan kesepakatan dengan adiknya, La POSASU, untuk saling membantu dan
bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar.
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, dalam kerangka politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918.

Isi perjanjian itu menyebutkan, Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Swapraja Laiwoi di Kendari. Sejak saat itu Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada di bawah kontrol Kesultanan Buton. Sebagai subordinasi Kesultanan Buton, Muna praktis menjadi salah satu dari empat wilayah penyangga (bharata) kerajaan Islam tersebut.

Tiga Bharata yang lain adalah Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
Berdasarkan Korte Verklaring itu pula beberapa kerajaan kecil di sekitar Kesultanan Buton, seperti Tiworo, Kulisusu, Kaledupa, Rumbia, dan Kabaena, ikut menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Dua kerajaan kecil yang terakhir merupakan wilayah nonstruktural karena tidak menyandang predikat Bharata.
IHWAL pembangunan Kota Muna, Couvreur mengutip kepercayaan mistiK bahwa dalam pembangunan benteng kota itu
oleh LAKILAPONTO dibantu para jin (roh halus. Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa sebab,
seperti ditulis Couvreur, panjang keliling pagar tembok itu mencapai 8.073 meter dengan tinggi empat meter dan tebal tiga meter. Selain melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan tembok pagar Ibu Kota Kerajaan tersebut, La POSASU sebagai pengganti LAKILAPONTO juga mendirikan bangunan tempat Perguruan Islam, sesuai anjuran Syekh Abdul Wahid. Seperti disebutkan La Kimi Batoa, pensiunan guru sejarah, Abdul Wahid adalah penyebar agama Islam pertama di Pulau Muna.

Fasilitas publik lainnya di Kota Muna adalah masjid.
Masjid pertama dibangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja Muna X (1600- 1625).
Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo (65), tokoh adat Muna, masjid yang dibangun raja tersebut masih sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru dibangun pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo Sangia (1716- 1757). Masjid tersebut dibangun di tempat berbeda dengan lokasi masjid pertama.
Masjid di Kota Muna itu hampir seumur dengan Masjid Agung Keraton Buton di Bau- Bau.
Masjid Keraton Buton dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712 dengan konstruksi permanen, dan baru dipugar pada tahun 1930-an di masa pemerintah Sultan Buton ke-37, Muhammad Hamidi. Adapun Masjid Agung Kota Muna baru dibangun secara permanen sekitar tahun 1933 oleh La Ode Dika sebagai Raja Muna (1930-1938).
Kegiatan pembangunan (renovasi) masjid tersebut mendapat bantuan dari Kontroler Belanda yang berkedudukan di Raha, Jules Couvreur. "Dia menyediakan bahan, seperti semen, atap seng, dan bahan bangunan lainnya. Karena selama memangku Raja lebih banyak memerhatikan pembangunan masjid tersebut, maka La Ode Dika diberi gelar Komasigino (pemilik masjid).
Dua dari 14 putra-putri La Ode Dika tercatat sebagai tokoh daerah, yakni La Ode Kaimuddin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, dan La Ode Rasyid, mantan Bupati Muna.

KERAJAAN Muna di masa lalu kini nyaris tak meninggalkan bekas. Satu-satunya peninggalan yang tampak di Kota Muna saat ini hanyalah bangunan Masjid yang pernah dirawat La Ode Dika, Raja Muna terakhir yang dipilih oleh Sarano Wuna yang dibentuk Raja La Titakono pada abad ke-17 itu.Bangunan masjid itu juga sudah tidak asli. Ketika Bupati Muna dijabat Maola Daud pada tahun 1980-an, bangunan Masjid tua itu dirombak total ukuran dan bentuknya. Giliran Ridwan Bae menjadi Bupati Muna (2000- 2005), bangunan masjid itu dirombak lagi untuk dikembalikan ke bentuk asalnya.

Bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan itu sangat sederhana. Bangunannya terdiri atas tiga susun, termasuk tempat dudukan kubah. Itulah bentuknya yang asli dari masjid tua tersebut. Peninggalan yang lain sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa makam tua yang menjadi kuburan Raja-Raja zaman dulu, antara lain makam La Ode Huseini, yang pada masa hidupnya dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam.
Sisa-sisa ataupun reruntuhan Benteng Kota Muna yang konon dibangun dengan bantuan jin itu juga sudah tidak ada lagi. Namun pagar tembok itu masih tersisa sekitar 1.800 meter yang masih utuh. Hanya fisik bangunannya memang tidak kelihatan karena dibalut rumput liar.
Kerajaan Muna yang dulu berbudaya feodal kini tinggal kenangan. Yang ada hanyalah hamparan semak belukar di sebuah dataran agak cekung yang diapit bukit-bukit karang.
Di sana-sini tampak rumah- rumah adat Muna dari kayu jati yang baru dibangun. Menurut rencana Pemerintah Kabupaten Muna membangun perkampungan bagi para pemangku Sarano Wuna(Mahkamah Adat) sebagai miniatur Kota Muna beberapa abad silam

Leluhur Muncul dari Bambu
MITOS asal-usul manusia yang menjadi penguasa di daerah kepulauan di Sulawesi Tenggara mempunyai versi yang sama. Wa ka ka, Ratu pertama Kesultanan Buton, diceritakan datang dari China dan pada awalnya ia muncul dari lubang bambu kuning di dalam kompleks Keraton Buton sekarang. Leluhur keturunan Mokole (raja) di Kabaena (kini Kabupaten Bombana) juga dimitoskan muncul dari bambu yang biasa dipakai membuat nasi bambu.La Eli alias Baidulzamani, yang disebut sebagai raja pertama di Pulau Muna, menjadi legenda masyarakat Muna bahwa ia berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan, lalu muncul dari dalam lubang bambu saat ditemukan manusia yang telah lebih dulu membangun koloni di Wamelai dalam wilayah Tongkuno. Setelah diangkat menjadi raja,Baidulzamani diberi gelar Bheteno ne Tombula (’Manusia yang Dilahirkan di dalam Bambu). Adapun permaisuri bernama Tandi Abe (Tanri Abeng) juga dikabarkan berasal dari Luwu. Konon ia terdampar di Napabale, sebuah laguna di pantai timur Pulau Muna dan kini menjadi salah satu obyek wisata.

Salah seorang putri Raja Luwu tersebut dengan menumpang sebuah talam besar pergi ke arah timur mencari pria yang telah menghamilinya. Talam itu telah menjadi batu sekarang. Pria yang dicari tak lain adalah Baidulzamani yang telah lebih dulu berada di daratan Muna.
Setelah dipertemukan mereka pun dikawinkan dan menetap di Wamelai.
Perkawinan itu melahirkan tiga anak. Salah seorang di antaranya bernama Kaghua Bhangkano yang kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar Sugi Patola. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. Lakilaponto Raja Muna VII dan Sultan Buton VI lalu menjadi Sultan Buton pertama dengan sebutan Murhum (almarhum) setelah mangkat, berasal dari garis keturunan sugi tersebut.

TITAKONO, Raja Muna X (1600-1625) tercatat dalam sejarah Muna sebagai pemrakarsa penetapan golongan dalam
masyarakat Muna. Ia menetapkan penggolongan itu bersama sepupunya bernama La Marati. Yang terakhir ini adalah anak Wa Ode Pogo, saudara perempuan Lakilaponto. Titakono sendiri adalah putra Rampei Somba, saudara Lakilaponto. Sebagai raja, Titakono mengangkat sepupunya itu menjadi pembantu utamanya dalam pemerintahan dengan jabatan yang disebut bhonto bhalano (semacam perdana menteri). Setelah itu keduanya bersepakat menetapkan strata sosial masyarakat. Berdasarkan kesepakatan itu, golongan masyarakat dari garis keturunan sugi sampai kepada Titakono harus diakui sebagai golongan tertinggi yang disebut Kaomu dengan gelar la ode.

Lalu kelompok masyarakat keturunan mulai dari La Marati ditetapkan sebagai golongan setingkat lebih rendah dari Kaomu yang disebut Walaka. Golongan Walaka tidak memakai gelar La ode. La Marati menyetujui penetapan posisinya seperti itu karena menyadari bahwa ayahnya, La Pokainsi, bukan keturunan sugi. Kendati ibunya, Wa Ode Pogo, adalah keturunan sugi dan saudara kandung dari Lakilaponto, La Marati dan keturunannya sudah digariskan menjadi golongan Walaka.
Dalam struktur pemerintahan kerajaan, golongan Walaka berhak menduduki jabatan bhonto bhalano, sebagaimana yang telah dirintis La Marati.
Sementara untuk jabatan raja sudah digariskan harus mereka yang bergelar La ode.apisan ketiga dalam masyarakat Muna di masa lampau adalah golongan Maradika, rakyat biasa. Selain menetapkan penggolongan masyarakat, duet Titakono-Marati juga membentuk dewan adat atau Sarano Wuna. Ketika itu Sarano Muna terdiri atas enam anggota, yaitu Raja, Bhonto Balano, dan ke-4 ghoerano (empat kepala wilayah yang menjadi basis utama Kerajaan Muna). Mereka adalah ghoerano Tongkuno, Kabawo, Lawa, dan Katobu.
Anggota Sarano Wuna kemudian bertambah sejalan dengan perkembangan wilayah kekuasaan.
Tradisi dan Wisata WISATA -"Lia Ngkobori atau [gua bergaris/bertulis Adalah dua buah goa besar peninggalan nenek moyang bangsa Muna.

Muna yang dalam kitab sejarahnya adalah mendapat gelar KOTA ARABIA LAMA karena keadaan negerinya yang
menyerupai Arabia."Pada dinding goa /lia ngkobori. bisa disaksikan lukisan dinding yang menggambarkan kehidupan suku Muna pada masa itu seperti perjuangan suku Muna dalam mempertahankan hidupnya yang digambarkan seorang menaiki seekor gajah, gambar matahari, gambar pohon kelapa yang menggambarkan tingkat pertanian suku Muna, gambar binatang ternak seperti sapi, kuda dan lain-lainnyap.Walaupun relief atau gambar tsb. terkesan sederhana tetapi kita dapat menangkap arti makna yang jelas yaitu keberadaan suku Muna pada saat itu.

Selain gua yang melukiskan relief terdapat pula gua yang didiami oleh burung walet. Gua tsb. mempunyai stalaktit dan stalaknit yang sangat indah dengan warna yang cenderung hitam mengkilap. Apabila kita menyelusuri gua kecil kita akan menyaksikan keindahan batu yang berbentuk bulatan-bulatan berwarna putih. zkawasan gua tsb. sangat cocok untuk rekreasi dan berkemah, berhawa sejuk dengan alamnya yang asli. Jarak menuju obyek ini sekitar satu jam atau sekitar 20 Km dari kota Raha ke arah Timur. TRADISI -"Perkelahian Kuda merupakan salah satu atraksi yang terkenal di Sulawesi Tenggara yang hanya terdapat di Muna.Perkelahian kuda diadakan pada berbagai acara atau perayaan. Penyambutan tamu penting atau melayani permintaan khusus.Seekor kuda betina akan diperebutkan oleh dua ekor kuda jantan sehingga mereka berkelahi untuk mendapatkannya. Perkelahian ini biasanya diadakan di lapangan terbuka

SIAPA MUHAMMAD IDRIS(sultan Buton ke 29 ) ITU..?

SIAPA MUHAMMAD IDRIS(sultan Buton ke 29 ) ITU..?


OLEH : DR. LA  NIAMPE, M.Hum


1. SIAPA MUHAMMAD IDRIS ITU..?
       Muhammad Idrus adalah Putra Sultan Buton ke-27 bernama La Badaru (1799-1823). Ia diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18. Dilihat dari silsilah keturunannya, Beliau termasuk keturunan ke-16 dari raja Sipanjonga; raja Liya dari tanah Melayu yang pernah berimigrasi ke negeri Buton (lihat silsilah pada lampiran). Dalam naskah ”SILSILAH RAJA-RAJA BUTON” Muhammad Idrus memiliki 33 orang istri dan dikaruniai anak berjumlah 97 orang, dua orang di antaranya terpilih menjadi Sultan Buton, yaitu Muhammad Isa sebagai Sultan Buton ke-31 (1851-1861) dan Muhammad Salih sebagai Sultan Buton ke-32 (1861-1886). 

2. Nama dan Gelar
            Muhammad Idrus adalah nama lengkapnya. Selain itu ia juga memiliki cukup banyak tambahan atau gelaran sebagai berikut:
a.      La Ode
La Ode adalah gelaran bangsawan Buton yang tertinggi untuk golongan kaumu yang menduduki jabatan penting dalam struktur pemerintahan. Golongan bangsawan lainnya setelah kaumu sebut walaka, yang biasanya menduduki jabatan adat. Selain golongan kaumu dan walaka terdapat pula golongan papara dan batua. Gelaran ”La Ode” yang dipakai sekarang ini di lingkungan masyarakat Buton tidak lagi dipakai sebagai pemangku jabatan dalam struktur pemerintahan tetapi hanya penanda keturunan dari golongan kaumu. 
b.      Oputa Mokobaadiana
Gelaran Oputa Mokobaadiana (bahasa Wolio) yang artinya ”Sultan Pemilik Kota Baadia. Nama ini dikaitkan dengan pembukaan Kota Baadia yang aslinya masih berstatus hutan, Muhammad Idruslah yang membukanya hingga menjadi sebuah kampung atau kota yang ramai (Zahari, 1977: 25).
c.       Oputa Ikuba
Gelaran Oputa Ikuba (bahasa Wolio) artinya ”Sultan yang Menggali Kolam. Nama ini dikaitkan dengan aktivitas Muhammad Idrus, yaitu beliu pernah menggali kolam air, tepatnya di samping kiri Masjid Baadia (Zahari, 1977: 28).

d.      Oputa Mancuana
Gelaran Oputa Mancuana (bahasa Wolio) artinya ”Sultan Tua” yang identik dengan ”Kaimuddin I”. Gelaran ini dikaitkan dengan kehadiran dua orang putranya masing-masing Muhammad Isa ”Kaimuddin II” dan Muhammad Saleh ”Kaimuddin III” yang dalam proses pengangkatannya sebagai sultan tidak melalui pemilihan tetapi dari putra mahkota. Menurut Zahari (1977: 28) untuk membedakan antara bapak dan anak, maka untuk Muhammad Idrus diberi gelar Oputa Mancuana atau Sultan Kaimuddin I.
e.       Sultan Khalifatullah
Gelaran ini sebagaimana yang dikemukakan oleh H. Abdul Ganiu bahwa ”dinamakan dia Sultan Butun itu ”Sultan Khalifatullah” karena wajib al-wujud mempunyai dua hakikat dirinya; pertama hakikat wajibnya karena ia asal usul bangsa sultan (bangsawan), dan kedua, hakikat wujudnya karena ia lagi-lagi tiada mempunyai kekurangan lagi suci. Ia mencapai daripada pekerjaannya.” (La Niampe, 2002).
f.        Sulutani Moadilina dan Aedurusu Matambe
Kedua-dua gelaran ini hanya ditemukan pada syair-syair mengenai ajaran tasauf berbahasa Wolio seperti syair Bula Malino dan syair Nuru Molagi. Pada naskah-naskah yang masih berstatus asli tertulis ”Aedurusu Matambe” yang artinya ”Idrus yang hina”. Dan pada naskah-naskah yang berstatus salinan (disalin orang lain) tertulis ”Sulutani Moadilina” artinya ”Sultan yang Adil”.
Dalam karya-karya yang berbahasa Arab  seperti Kasyfu al-Hijab fi Murakabati al-wahab, hidayat al-basyir fi ma’rifat al-Qadir, Zubdatu al-Asrar fi Tahqiqi Ba’di Nasyaribi al-Akhyar wa Risalatu as-Syatariah, dan Misbah ar-Rajin fi Zikri as-Salat wa as-Salam ala an Nabi Syafi al-Muznibin nama Muhammad Idrus tertulis Al-abd al-fakir al-haqir Muhammad Idrus Kaimuddin ibnu al-faqir Badaruddin al-Butuni. Selain itu dalam naskah-naskahnya yang membicakan hukum adat (undang-undang), seperti Sarana Barata, nama Muhammad Idrus tertulis Sultan Qaimuddin  Muhammad.

3. Muhammad Idrus Sebagai Ulama Sufi
Sultan Muhammad Idrus adalah sufi ternama dari Buton (Sulawesi). Pada masa kecilnya, ia menerima pendidikan Islam dari kakeknya, La Jampi, yang juga pernah menjadi sultan dengan gelar Sultan Qa’im al-Din Tua (1763-1788). Sampai pada tahun 1974, orang Buton masih menemukan jejak tempat ia dibina oleh kakeknya dalam pengetahuan agama, khususnya tasawuf. Tempat itu dikenal dengan Zawiyyah.
Guru Muhammad Idrus yang lain adalah  Syekh Muhammad bin Syais Sumbul al-Makki. Dari ulama inilah ia menerima tarekat Khalwatiyyah Sammaniyah. Tulisan-tulisannya yang khusus membahas tentang tasawuf antara lain: Jauharana Manikamu, Mu’nisah al-Qulub fi Dzikr wa-Musyahadah, Diya al-Anwar fi Tashfiyah al-Akdar dan Kasif al-Hijab fi Muraqabah al-Wahhab.
Dalam pemikiran tasawufnya Idrus berusaha untuk sampai pada fana’ dan baqa’, seperti yang dikemukakan dalam karyanya Mu’nisah al-Qulub fi Dzikr wa-Musyahadah. Fana’ menurutnya terbagi kepada tiga macam: Fana’ al-af’al, fana’ shifat dan fana’ al-Dzat. Sedangkan baqa’, menurutnya, terbagi kepada dua macam, yaitu: Syuhud al-Kasrah fi wahdah (menyaksikan yang banyak pada yang esa), dan Syuhud al-Wahdah fi Kasrah (menyaksikan yang esa pada yang banyak). Uraiannya tentang fana’ dan baqa’ ini menunjukkan bahwa ia cenderung pada corak tasawuf yang berkembang pada masanya, yakni corak teosofi atau falsafi. Hanya saja, ia menyangkal akan terjadinya hulul dan ittihad. Ajarannya tentang dzikir dianut juiga oleh Muhammad Idrus. Ajarannya tentang dzikir ini termuat dalam beberapa tulisannya, antara lain dalam Mu’nisah al-Qulub fi Dzikr wa-Musyahadah, Dhiya’ al-Anwarfi Tasfiyah al-Akdar, Kasyf al-Hijabfi Muraqabah al-Wahhab, dan Jauharana Manikamu. Dalam tulisan-tilisannya ini dikemukakan hal-hal yang menyangkut kemuliaan, adab, dan tatar cara dzikir. Ia menyebut berbagai keutamaan dzikir, diantaranya adalah membersihkan hati dan akal agar dekat dengan Tuhan. Dalam hal ini ia mengatakan:

Dzikir yitu kanturuna ngangaranda
(dzikir itu lampu hati sanubari)
Kusuluwina kalibi momalalandana
(penerang kalbu yang gelap)
Apekangkilo fi’adi mokorakina
(membersihkan hati yang kotor)
Apekalino akala momalowona
(mengheningkan akal yang keruh)
Rahmatina Oputa yitu amakasu
(rahmat Tuhan kita dekat)
Iapiyaka batua mozikirina
(kepada hamba yang ber-dzikir).

Lafal dzikir yang paling mulia, dalam pandangannya, adalah lafal “La Ilaha Illa Allah”. Pandangan yang menyangkut keutamaan dzikir yang dikemukakan oleh Muhammad Idrus ini didasarkannya pada hadist Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dikemukakannya dalam salah satu tulisannya: 

Abari mpuu kalabina dzikiri
(banyak sekali keutaman dzikir)
Iburuku siy sabutunamo saide
(yang kulit ini hanya sedikit)
Neu peelu kalabina mobari
(kalau ingin kelebihannya banyak)
Nunu mpuu ihadisina Nabi
(cari dalam hadis Nabi)

Ada dua jenis dzikir yang senantiasa dilakukan Muhammad Idrus, yaitu dzikir dengan hati (qalb) dan dzikir dengan lidah (lisan). Dzikir pertama dilakukan dengan menenangkan hati, lalu menghilangkan segala sesuatu yang ada di hati selain Tuhan. Sedangkan dzikir yang kedua dilakukan dengan mengikuti sejumlah tata tertib (adab) dalam ber-dziki.
Menurut Muhammad Idrus, lafal dzikir yang diucapkan terdiri atas tiga tingkatan: pertama, :la ma’buda illa Allah; kedua, “la mathluba illa Allah”; dan ketiga, “la maujuda illa Allah”. Bila berhasil melalui tiga tingkatan itu, sufi berada dalam fana’. Pada tahap ini ia tidak menyadari lagi wujud dirinya. Yang disadari hanyalah satu-satunya wujud. Ucapan yang keluar dari mulutnya pun tidak lagi dirasakan sebagai ucapannya sendiri. Sekedar bandingan, tampaknya ini barangkali mirip dengan ucapan al-Ghazali: “....Apabila hilang tabir kelalaian dari hati Anda, dzikir Anda kepada-Nya akan ada bersama dzikir-Nya”.
Sebagai pengikut tarekat Khalwatiyah Sammaniyah, Muhammad Idrus tidak hanya mementingkan dzikir, tetapi juga mementingkan khalwat (menyendiri dari keramaian). Tampaknya khalwat yang dipraktekkan Muhammad Idrus didasarkan seperti khalwat-nya Nabi Muhammad di Gua Hira menjelang wahyu turun. Ia membagi khalwat menjadi tiga tingkatan, yaitu: khalwat salik, khalwat ‘arif, dan khalwat muthlaq. Yang pertama adalah khalwat murid yang belajar tasawuf dan menempuh tarekah. Sedangkan khalwat arif adalah dilakukan dengan hati saja, meskipun tubuhnya di tengah-tengah orang ramai. Dan khalwat mutlak hanya dilakukan oleh gaus, yaitu puncak tertinggi dari tingkatan sufi.
Selain khalwat, Muhammad Idrus juga mempunyai pemikiran tentang muraqabah. Menurutnya, dalam Kasyf al-Hijab , muraqabah senantiasa meyakini bahwa Tuhan mengintai lahir dan batinnya, di mana dan kapan saja. Seperti halnya, al-Sukhrawardi, Idrus juga menempatkan muraqabah setelah muhasabah.
Selanjutnya, seperti halnya sufi-sufi lain, Muhammad Idrus juga mempunyai pemikiran tentang maqamat. Berbeda dengan Abd Ghani tokoh yang akan disebutkan kemudian Muhammad Idrus menempatkan fana’ sebagai maqam yang ingin dicapainya ketika ia melakukan dzikir. Menurutnya fana’ dapat tercapai dalam keadaan musyahadah (penyaksian), musyahadah dicapai setelah melewati muraqabah dan muhasabah. Tingkatan-tingkatan inilah yang dimaksud oleh Idrus sebagai maqamat untuk sampai maqam fana’ yang diinginkan dalam melakukan dzikir-nya. Idrus juga mengemukakan maqam-maqam lainnya seperti tobat, tawadlu’, sabar, rela, dan zuhud, dalam tulisan-tulisannya. Ini menunjukkan keterpengaruhannya terhadap al-Ghazali, yang juga dianut al-Palimbani. Pemikiran-pemikiran Muhammad Idrus di atas tampaknya terpengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh tasawuf Sunni, sedangkan pemikirannya tentang Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah tampaknya terpengaruh oleh tokoh sufi falsafi.
Munculnya paham Wahdatul Wujud dalam dunia tasawuf adalah sebagai akibat pengalaman fana’dan baqa’ yang terjadi pada sufi dalam “pengembaraan” tasawufnya. Pemikiran tasawuf di Buton pada abad ke-19 rupanya mengikuti alur pemikiran ini. Hal ini diketahui melalui ajaran tasawuf  Muhammad Idrus. Ia menerima paham tasawuf Wujudiyyah karena ia terlebih dahulu mengakui terjadinya fana’ dan baqa’ dalam perkembangan tasawufnya. Karena menerima paham Wujudiyyah, Idrus menerima pula konsep “Martabat Tujuh” yang menjadi bagian ajaran Wujudiyyah dalam tasawuf falsafi. Ajaran Martabat Tujuh-nya, kelihatannya mengutif kepada al-Burhanpuri.
Selanjutnya Muhammad Idrus juga mempunyai pemikiran tentang hubungan antara tasawuf dengan syari’at. Idrus menyatakan bahwa nikmat yang paling tinggi adalah pada saat “melihat” Tuhan dalam musyahadah. Tetapi itu dapat dicapai setelah segala perintah Tuhan, seperti shalat, puasa dan zakat dilaksanakan, dan segala larangan-Nya ditinggalkan.

4. Muhammad Idrus sebagai Sultan
            Muhammad Idrus terpilih sebagai Sultan Buton ke-29 (1824-1851). Selama periode pemerintahannya, pembangunan di bidang keagamaan menjadi prioritas utama. Hal ini sebagaimana terungkap melalui surat-surat wasiatnya seperti di bawah ini:
1.      baa-baana tey sameaku yinkomiu mangaanaku itu ranga-rangania lagi oibaadati miu opoopu miu yi Allahu Taala. Kakaangia osambahea miu mowaajibuna jamaakea komiu yi masiqi saro ingkomiu membalina umane. Tee poasa miu mowaajibuna boli botu-botikia tabeana rampa uzuru. Tea malingu saro mowaajibuna yikaro miu boli manangkaliakea boli maluntuakea boli ose-ose inca miu madakina. Aose-aoseka inca miu madakina itu padaka umarimbimo yidunia yiakherati (hal. 1).

Terjemahan:
Pertama-tama kuwariskan kepada anak-anakku, tambah-tambahkan lagi ibadahmu dan bertuhanmu kepada Allah Taala. Kuatkan sembahyangmu yang wajibnya. Jamaakan di masjid bagi kaum laki-laki. Dan puasamu yang wajibjangan putus-putuskan kecuali uzur.Dan semua yang namanya yang wajib pada dirimu jangan malas-malaskan,jangan mengikuti hatimu yang tidak baiknya itu, akan mendapatkan hukuman di dunia dan di akhirat.

2.      Osiy okasameaku yimianan Baadia bari-baria. Kupaumpa komiu yaku syi indamolau-launa beku mangenge beku mboo-mboore yi baadi siy. Kapaaka oumuruku siy eona incia siy lima pulu tee lima pulu tee lima tao. Okamentelana umuruna umati Muhamadi Salallahu alaihi wasalama nama pulu tee pitu pulu tao. Okasameaku ingkomiu posadaa-daaia yapaiyaka mowaajibuna yikaro miu simbau sambahea miu simbau poasa miu te malingu saro mowjibuna yikaro miu te jamaa miu boli uboli-ubalia tee sambahea jumaa miu simbau duka daagiapo tee yaku yi baadia siy. Kaopuuna wajibu bea pekatangka –tangka totona inca miu itikadi miu yi Allahu Taala tee itkadi miu yi Rasulullahu boli-ubolia simbau yipengkaadari akata sakiaia siy(hlm.11).

Terjemahan :
Ini wasiatku kepada seluruh masyarakat baadia. Kuberitahukan bahwa saya ini tidak akan lama lagi tinggal di Baadia ini, karena umurku ini pada hari sekarang ini limapuluh dan lima puluh tahun. Pada umumnya umur umat Muhammad s.a.w. enam puluh atau tujuh puluh tahun. Kuwasiatkan kepada kalian sepeerti sembahyang kalian, seperti puasa kalian, dan semuanya yang namanya diwajibkan pada diri kalian dan sembahyang jamaah kalian jangan putus-putuskan dan sembahyang jumat kalian seperti juga ketika saya masih di Baadia ini. Yang pokok, yang wajib adalah perkuat hati dan itikad kalian kepada Allah Ta’ala dan kepada Rasulullah jangantinggalkan iaitu tetap seperti kita belajarkan selama ini.

3.      osiy okosameaku ogora-ogoraku yisaraku yisara, sio-siomo itikadi yingajiakana saangua wolio siy ipiamo siytu bolimo amarungga sobeakaranga-ranganimo. Nadaangiapo duka omia bemo pawauna barahala, sio-siomo beadakia osara. Teemo duka jumaa sambahea lima wakutuu te poasa waajibu ozakati sio-siomo sobeakaranga-ranganimo katangkana(hlm.8)

Terjemahan :
Ini wasiatku kepada pemerintah, mudah-mudahan itikad yang dingajikan seluruh seluruh Wolio ini yang dahulu itu jangan lagi rosak melainkan terus bertmbah-tambah. Bila masih ada juga yang berbuat berhala, maka tugas pemerintah yang memberantasnya. Dan juga sembahyang jumat, sembahyang berjamaah lima waktu, puasa dan zakat, mudah-mudahan akan terus bertambah-tambah kokohnya.

4. Tee pekabari-baria komiu ozikiri laailaha ilallahu tee salawa inuncana eona malano siy bara sala-sala opooli sarewu incana samalo saeo. Kaapaaka okalabiana ooni rua anguna itu soamapupumo tawana kau betas karatasi tee soamapupumo kau betao kaburia tee soampupumo andala betao manic tee soamapupumo maanusia ojini omalaikati betomo buria okalabiana ooni rua anguan itu aindamo beamapupu (hlm. 12).

Terjemahan:
Dan perbanyak zikir la ilaaha ilallah dan selawatan atas nabi siang malamnya. Kalau sekiranya sanggup seribu kali di dalam sehari semalam, kelebihan yang duanya itu: akan habislah daun kayu untuk kertas dan akan habislah kayu untuk pena dan akan habis lautan untuk tinta dan akan habis manusia, jin, malaikat yang menulisnya kelebihan kata yang dua buah itu tidaklah akan habis.

5. Incema-incema imobacana saeo-saeo awaajibumo asafaatia naile orasulullah yiakherati (hlm. 2).

Terjemahan:
Siapa-siapa yang membaca salawat atas Nabi seribu kali di dalam sehari semalam diwajibkan disyafaat oleh Rasulullah di akhirat.

6. Tee menturu komiu baca Quruani sakura-kuranomo inuancana samalo saeo lima puluh anguna aeti. Tee boli manangkali tee boli mangare, tee boli umaluntu, tee boli panganta beu pengkadareakea omaanana Quruani itu talu pulua yiaalimu mosahana ilimuna momatauna aeti nasukhulu tee mansuukuhu.

Terjemahan:
Dan rajinlah membaca Quran sekurang-kurangnya di dalam sehari semalam lima puluh buah ayat. Dan jangan membangkang, jangan bosan, dan malas belajar makna Quran yang tiga puluh juz kepada orang alim yang sah ilmunya, yaitu mereka yang mengetahui ayat naaskhul dan masuukhuh.

7. Kasimpo oilimuuna momaogena ampadeanan malinguaka saro kitabi hadisi mosaha simbau hadisi Bukhariyu simbau hadisi Musulimu Terimiziyu Nisaai Bayihaqiy ibuni Maja Tahabrany Muutha musannada Safii Musannada Ahamadi bHambali hadisi Abuu Daawudu hadisi Dailami tee malingu saro kitabi hadisi motoalamna inuncana kitabi motosarongini itu namako. Kasiimpo duka momaogena ampadeanan muri-murina Quruani tee hadisi nabi itu okitabina yapai-yapaiaka ulama msoalinika itu namako, simbau kitabina Imaamu Al-Ghazzaliy itu, Kaapaaka abari motoromusakana inuncana kitabini Imamu Al-Ghazzaliy yitu opeonina tee parangina yapai-yapaiaka ulamaa mosaalihina (hlm. 3)

Terjemahan:
Kemudin ilmu yang besar manfaatnya adalah semua yang dinamakan kitab hadis yang sahih seperti hadis Bukhari, Muslim, Tarmidzi, Haakimu, Nissai, Baihaqi, Ibni Majah, Tabrani, Muutha Musannada, Syafii Musannada, Ahmad bin Hambali, Abu Daud, Dailami, dan semua kita hadis yang tersebut dalam kitab yang disebutkan itu. Kemudian juga yang besar manfaatnya di kemudian hari Quran dan hadis nabi dan kitab apa saja dari ulama yang saleh seperti kitab imam Al-Ghazali, karena di dalam kitab Al-Ghazali itu terkumpulya semua perkataan dan perangai orang-orang yang saleh.

8. Kasiimpo saro maloa Jumaa atawa molona Isinini poromu-romu komiu inuncana yi Baadia itu malingu saro yingkomiu membalina umane itu karoatibu taluatu ipolotaana magaribi tee isyaa niatikea ofahalana raatibumiu itu beu bekuaka yinyawana bari-baria sahabatina Rasulullahu tee yinyawana mancuanamiu obawine moane tee yinyawana bari-baria Isilamu yi tana Wolio tee yinyawana bari-baria Isilamu saangua dunia siy.
   Kasimpo menturu komiu ujamaa limanguna wakutuu yi masigi Baadia itu yingkomiu membalina umane tabena rampana daangia okolingkaa atawa rampana daangia umapi (hlm. 5)

Terjemahan:
Kemudian yang namanya malam Jum’at atau malam Senin, berkumpullah di dalam Masjid Baadia itu bagi kaum laki-laki. Bacalah tahlil sebanyak tiga ratus kali di antara Magrib dan Isya’. Niatkan pahala tahlil yang dibaca itu untuk dikirimkan kepada nyawa Rasulullah dengan nyawa orang tua lelaki dan perempuan, semuanya nyawa umat Islam di seluruh dunia itu. Kemudian rajinlah berjamaah lima waktu di Masjid Baadia itu bagi yang laki-laki, kecuali berpergian atau karena sakit.

9.      Omasigi yi Baadia itu konamiakea komiu bara daangia obaruba.  Beimalapekana pewaua tee betao emani miu tulungi inuncana upewau masigi itu malingu saro molalakiakana Baadia. Baraangkaalaka amarungguamo omasigi yi Baadia itu banguakea duka pewana omasigi itu yi mbooersamo duka yincia (hlm.3-4).

Terjemahan:
Masjid di Baadia itu perhatikan bila ada kerusakannya. Untuk memperbaikinya, mintalah bantuan kepada siapa saja yang memerintah di Baadia. Kalau ada mengalami kerusakan berat, bangunlah dan kerjakan tetap di tempatnya.

10.  Bolimpuu patotopua yi totona inca miu olalaki kapaaka ohakekatina manusia itu apokana-kana. Tabeana motopenena yi Allahu Taala tee sarana lipu itu momalapena incana momalapena pemingkuina momalapena peonini(hlm. 6-7).

Terjemahan       
Jangan sekali-kali menonjolkan rasa kebangsawanan karena pada hakekatnya semua manusia itu sama. Manusia yang baik adalah yang baik pada Allah Ta’ala pada pemerintahan negeri, yang baik hatinya, yang baik perbuatanya dan baik kata-katanya.

11.  Obaadia siy boli parameakea yapaiaka ilrangina Allahu Taala tee Rasulullahu simbou potaro simbou kanau yimalalangoaka simbou pongasi yimalalangoaka atawa beaparaaso hafio atawa beaala uwena kupa tee malingu saro madakina teemo duka kagasia boli uparameakea simbou sepa simbou caturu simbou pekabakoli simbou pegasi simbou pekabulalu simbo mencei simbou Linda simbou laringai simbou pekatu-tumbu simbou pekatobo-toboki simbou potuda simbou posemba tee malingu sampokanan duka incia itu (hlm. 13).

Terjemahan       
Baadia ini jangan ramaikan dengan apa-apa yang dilarang Allah Ta’ala dan Rasulullah seperti judi, nira yang memabukan, seperti pongasi yang memabukan, seperti menjual candu, atau bunga uang dan semua yang namanya tidak baik. Dan juga permainan seperti bola raga, seperti catur, seperti joget, seperti pogala, seperti pekabakoli, seperti main gasing, seperti pekabulalu, seperti mencei seperti linda seperti lariangai, seperti pekatu-tumbu, seperti pekatobi-toboki, seperti potuda, seperti posemba, dan semua yang sejenisnya juga seperti itu.

12.  Teemu duka tolarangina potaru tosasina pajoge bolimo amarungga. Adaangiaka osara yirangona moparamena potarao adikangiaka mea aosalana. Adaangiana irangona asara moparamena pajoge apepasimea duka (hlm. 8).

Terjemahan       
Dan juga terlarangnya judi dan tercegahnya joget kiranya jangan lagi berubah. Kalau ada dari pihak pemerintah mendengarkan ada yang meramaikan judi dan tidak melarangnya, maka itu adalah kesalahan pemerintah. Kalau ada dari pihak pemerintah mendengarkan ada yang meramaikan joget maka adalah tugas pemerintah yang membatalkannya.

13.  Tee jagania akaro miu bea peelu korakanana atawa okogundina kawanamo tea ponamba komiu boli undapia (hlm 13-14).

Terjemahan       
Dan jagalah diri kalian untuk mencinta orang punya suami atau orang punya gundik, meskipun diajak jangan mau.

14.  Manzina alaihi waalaihaa nisfu ala iba zalifil umatil maadhliati faizaa kaana yaomal qiyamati yahkum zanzaha hasanatihi fayaquhu haawayah miluhu zunuubaha wayanusqyhu ilaanaari (hlm. 14).

Terjemahan Bahasan Wolio:      
Incema-incema azinaa tee bawine mokorakanan bemo daangiana iumane incia itu tee yi bawine incia itu samontanga osikisaana bari-baria umati eona incia sy tee molapasina itu. Barangkalaala naile eona qiyamati atohukumuakamo orakanan bawine itu bari-baria kalapena manga iagoina itu aposadaakamo incia kasiimpo awulua yi narakaa (hlm. 14).

Terjemahan :
Siapa-siapa yang berzina dengan perempuan bersuami, apa yang ada pada lelaki dan perempuan itu setengah seksamanya semua umat pada hari ini dan sesudahnya. Pada hari kiamat kelak akan dihukum suami perempuan itu. Semua kebaikan yang merampas itu diambil yang dirampas dan semua ketidakbaikan yang dirampas dipikul oleh yang merampas selanjutnya diusir ke dalam neraka.

15.  Bolimpuu patotopua yi totona inca miu olalaki kapaaka ohakekatina manusia itu apokana-kana. Tabeana motopenena yi Allahu Taala tee sarana lipu itu momalapena incana momalapena pemingkuina momalapena peonini(hlm. 6-7).

Terjemahan       
Jangan sekali-kali menonjolkan rasa kebangsawanan karena pada hakekatnya semua manusia itu sama. Manusia yang baik adalah yang baik pada Allah Ta’ala pada pemerintahan negeri, yang baik hatinya, yang baik perbuatanya dan baik kata-katanya.

16.  Tangkanamo beiparandadina tontonan incamiu beu maeka larangina Allahu Taala tee larangina sarana wolio. Kabei patuwu mia yitotonan inca miu okatambena inca okatmbenan pemingkui kaapaaka omia moparandadina atambe itu amaasiakea Allahu Taala amaasiakea Rasulullaahu amaasiakea sarana lipy (hlm.15).

Terjemahan       
Yang utama, hidupkan hatimu untuk takut pada larangan Allah Ta’ala dan larangan pemerintah Wolio. Yang akan ditumbuhkan dalam hatimu adalah kerendahn hati dan kerendahan perbuatan, karena orang yang menghidupkan kerendahan hati dan perbuatan itu sangat disayangi oleh pemerintah negeri.

17.  Mentena angu-angu okitabi kuburiaka komiu itu. Posali-salingiakea komiu bari-baria padamo kudikaaka komiu. Poada-adariaeka komiu sawutitinai komiu dikaian yinami miu yapai kaadarina itu dikaia yinami miu mpuu komiu adunia siy yinda alagi yinda asanddaa ega-egana patotapua  yitotona inca miu okarajana dunia (hlm. 8).

Terjemahan       
Beberapa buah kitab telah kutuliskan. Saling menyalinlah kitab itu semua sudah kusimpankan. Saling ajarlah isinya dalam bersaudara-saudara. Pusatkan perhatianmu pada apa yang diajarkan itu dengan sungguh-sunggu. Ingatlah bahwa dunia tidak kekal, tidak abadi, jangan semata-mata memusatkan perhatianmu pada pekerjaan dunia.

18    Bara kumate yi wolio siy amalepe dangia inuncana sodaku atawa kutoaronimo sio siomo bolimo kutapewauaka simbau parenta yinda mokana itu namako simbau tamburu, simbau ganda, simabu temba, simbau pau, simbau togo, eangina jamu, simbau tobelokina paturu. Teemo duka siy bara daangia samia ruamia omangaanaku yiboliku  bolimo akodosa dosaaka rampana mateku yaku atokamo okomdo tee sara. Saro mate ayindamo amatemoakea manga ana ana atawa amiana banuana atawa omancuana atawa owutitinai  (hlm. 9).

Terjemahan      
Bila saya meninggal di Wolio ini baik sedang dalam tugasku maupun aku telah dilepaskan, kiranya saya jangan diperbuatkan perintah yang tidak benar, seperti tambur, seperti gendang, seperti tembakan, seperti payung, seperti membunyikan lonceng, seperti menghiasi kelambu jenazah dan juga kalau ada seorang dua orang anak-anak saya yang kutinggalkan, jangan lagi membebani hutang-hutang karena kematianku telah sedia kelengkapannya pada pemerintah. Yang namanya kematian tidak lagi memberatkan mereka anak-anak atau orang rumah atau saudara.

19    Sabutunamo kamondona kebatobahoaka bea tobalinguaka bea tolamuiaka musambaheana itu malingu molebena amalape hukumu amalape mia osagaanana, bara kuporikanapo yaku tee manga incia okamondona bakuku malingu saro bia maputi kanci kancia sambaheaku simbou surubaniku simbou bia ipobaku lolanamo bea pokawaaka talutapi. Negaangia mini naile barasakau rua kau bia maputi okaasi yi Allahu Ta’ala soa sadakaamo mini makate kate omangaanaku yi sara hukumu. (hlm.9).

Terjemahan       
Hanya kelengkapan untuk memadikan, untuk perbekalan, untuk perkuburan dan yang menyembahnyangkan itu, siapapun ulamanya pegawai mesjid atau yang lainnya. Apabila aku mendahului mereka, kelengkapan bekalku apapun yang namanya kain putih, bekas-bekas sembahyangku, seperti sorbanku, seperti sarung yang kupakai asalkan cukup tiga lapis. Kalau seandainya besok, ada barang sehelai dua helai kain putih tanda kasih dari Allah Ta’ala sedekahkan saja kepada pegawai mesjid.

5. Muhammad Idrus sebagai Pengarang
Kemampuan Muhammad Idrus menuangkan ide-idenya mengenai ajaran keagamaan, budi pekerti, dan peraturan hukum adat (undang-undang) yang disampaikan dalam beberapa bahasa (Wolio, Arab, dan Melayu) baik dalam bentuk prosa maupun puisi (syair) menggambarkan bahwa Muhammad Idrus layaklah disebut sebagai tokoh intelektual Buton yang terbesar pada zamannya. Tujuan beliau menulis naskah memberikan perbedaan di antara kepentingan keluarga dan kepentingan masyarakat umum. Naskah-naskah yang mengandungi ajaran dan pendidikan budi pekerti pewarisannya terbatas pada kepentingan keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar kalangan keluarganya tidak semata-mata memusatkan perhatiannya pada pekerjaan duniawi. Hal ini seperti dikemukakan berikut ini:
Mentena angu-angu okitabi kuburiaka komiu itu. Posali-salingiakea komiu bari-baria padamo kudikaaka komiu. Poada-adariaeka komiu sawutitinai komiu dikaian yinami miu yapai kaadarina itu dikaia yinami miu mpuu komiu adunia siy yinda alagi yinda asanddaa ega-egana patotapua  yitotona inca miu okarajana dunia (hlm. 8).

Terjemahan       
Beberapa buah kitab telah kutuliskan. Saling menyalinlah kitab itu semua sudah kusimpankan. Saling ajarlah isinya dalam bersaudara-saudara. Pusatkan perhatianmu pada apa yang diajarkan itu dengan sungguh-sunggu. Ingatlah bahwa dunia tidak kekal, tidak abadi, jangan semata-mata memusatkan perhatianmu pada pekerjaan dunia.

Bila ditinjau dari bahasa yang digunakan, naskah-naskah yang membicarakan ajaran keagamaan dan pendidikan budi pekerti secara khusus menggunakan Wolio dan bahasa Arab. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam petikan berikut:
Menturu kama-kamatea komiu okitabi yisarongiaka Tambigili Ghaafili itu kitabi yisarongiaka bula malingo tee yisarongiaka johara manikamu molabi tee kitabi yisarongi nuru molabi. Pata angua situ podo oni Wolio teemo kitabi alabu mentena angu-angu: Tahsiynul Aolaadik, hatul Uthuruyah, Uthurau Miskiyah, Surajul Muttaqiynah, Daratil Ahkaa, I,Sabil As-salam, Uyunarahmati, Targibul Anaamil, Bitah Waturrayriyna, Dliau anwaari, Syummu Umaatil Waraadi, Tanqiatul Qulubi, Hadiatul Basyiru, Habl Al-Wasyiqu, Khaodlil Maoruudi Amdatul Muwahidi, Kasyful Hijabu, Yaoharal Abhariat, tee salawa itu osarona mishyaa hurul ajiyna, tee tafsisi yitu osarona midadurahmaani, soo maka yindapo amondo dangiapo okitabi soo maka yindamo kudikaia yiwesiy tabeana kitabi faqihi (hlm. 8).
                
Terjemahan       
Rajin-rajinlah membaca kitab yang dinamakan Tambigili Ghaafili dan kitab yang dinamakan Bula Malino dan yang dinamakan Johara Manikamu Molabi dan kitab yang dinamakan Nuru Molabi. Yang keempatnya itu semua berbahasa Wolio dan juga kitab Arab beberapa buah Tahsiynul Aolaadik, Hatul Uthuruyah, Uthurau Miskiyah, Surajul Muttaqiynah, Daratil Ahkaa, I,Sabil As-salam, Uyunarahmati, Targibul Anaamil, Bitah Waturrayriyna, Dliau anwaari, Syummu Umaatil Waraadi, Tanqiatul Qulubi, Hadiatul Basyiru, Habl Al-Wasyiqu, Khaodlil Maoruudi Amdatul Muwahidi, Kasyful Hijabu, Yaoharal Abhariat, dan syalawat yang dinamakan Mishyaa Hurul Ajiyna, tdan tafsir yang dinamakan Midadurahmaani, hanya saja belum selesai kecuali yang dinamakan faqihi.

Salah satu judul naskah karya-karya Muhammad Idrus yang sangat populer pada zamannya adalah ”Bula Malino”. Naskah ini ditulis dalam bahasa Wolio dengan menggunakan aksara Arab-Melayu modifikasi Wolio ”penduduk setempat menyebutnya Buri Wolio”. Teks naskah ini dalam bentuk syair Kabanti Bula Malino, isinya berupa nasihat Muhammad Idrus yang ditunjukan kepada dirinya sendiri sebagai berikut.
Mengawali nasihatnya, sultan Muhammad Idrus mengatakan bahwa kelak ia akan menghadapi kematian. Hal ini sudah merupakan takdir Tuhan kepadanya sebagai hamba-Nya. Tidak ada satu pun hamba Tuhan yang hidup kekal di dunia ini. Yang hidup kekal abadi hanyalah Tuhan semata. Oleh karena itulah, di kala kematiannya tiba, ia memohon kepada Tuhan agar senantiasa diberi kekuatan iman serta dapat mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan teguh. Hal ini sebagaimana disuratkan di bawah ini:

Bismillahi kasi karoku si
Alhamdu padaka kumatemo
Kajanjinamo yoputa momakana
Yapekamate ßari-ßariya ßatuya
Yinda samia ßatuya ßomolagina
Sakubumbuya pada posamatemo
Somo yopu yalagi samangongeya
Sakiyayiya yinda kokapada
Ee wayopu dawuyaku iymani
Wakutuna kußoli baDaku si
Te sahada ikiraru momatangka
Te tasidiki iymani mototapu
Dengan nama Tuhan, kasihan diriku ini
Segala puji, kelak akan mati
Sudah takdir Tuhan yang kuasa
Mematikan semua hamba
Tidak satu jua hamba yang kekal abadi
Semua akan mati
Hanya Tuhan yang kekal abadi
Selama-lamanya tidak berkesudahan
Wahai Tuhan, berikanlah aku iman
Pada waktu meninggalkan jasad ini
Dengan syahadat ikrar yang tegah
Dan dengan tasdiq iman yang tetap

Sultan Muhammad Idrus memohon pula kepada Tuhan agar yang ditambahkan rahmat. Ia mengakui bahwa Nabi Muhammadlah yang menjadi sumber cahaya awal yang paling mulia yang memberikan sinar terang kepada hamba Tuhan yang berdosa. Ia juga mengharapkan agar Tuhan dapat mempertemukannya dengan Nabi Muhammad di padang masyhar tempat berkumpulnya hamba. Selain itu ia meminta agar Tuhan dapat mengampuninya dari azab neraka pada hari kemudian. Hal ini sebagaimana disuratkan di bawah ini: 

Ee wayopu, manganiya rahamati
Muhammadi caheya ßaana
Yoyinciyamo kayinawa motopene
Mosuluwina umati mokoDosana
Siyo-siyomo wayopu ßeku pokawa
Yi muhusara toromuyana ßatuya
Yoga yaku yi azabu naraka
Te huru-hara nayile muri-murina
Wahai Tuhan, tambahkanlah rahmat
Muhammad cahaya permulaan
Dialah cahaya paling mulia 
Yang menyinari hamba yang berdosa
Semoga Tuhan mempertemukanku
Di padang masyhar tempat berkumpulnya hamba
Hindarkanlah aku dari azab neraka
Dan keributan pada hari kemudian

Nasihat Sultan Muhammad Idrus kepada dirinya disampaikan melalui salah satu syairnya yang diberi judul “Bula Malino Kapekarunana Yinca” yang berarti “Bulan Terang Penyegar Hati”. Sultan Muhamad Idrus mengharapkan, nasihat-nasihat itu dapat menjadi cermin hidupnya dalam mengikuti berbagai pengajaran dan memerangi hatinya yang jelek, serta dapat diterima oleh Tuhan. Hal ini disuratkan di bawah ini:

Si sangu nazamu yoni Wolio
Yikarangina Ayedurusu Matambe
Kokarongiya ßetao payiyasaku
ßara salana ßekuyose kadari
Siyo-siyomo yopu yatarimaku
ßeku yewangi yimßaku momadakina
Kusarongiya Kaßanti yinciya si
Bula Malino Kapekarunana Yinca
Yang satu ini syair berbahasa Wolio
Di karang Idrus yang hina
Kukarang untuk cerminku
Semoga aku mengikuti ajaran
Mudah-mudahan Tuhan menerimaku
Untuk memerangi hatiku yang jelek
Kuberi nama syair ini
Bulan Terang Penyegar Hati

5.1 Jangan Mabuk dengan Kesenangan Dunia  
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar tidak memabukkan kesenangan dunia. Yang paling penting dipikirkan adalah perbuatan baik apa yang harus dilakukan terhadap sanak keluarga dan para sahabat. Apabila kematian telah menjemput, maka berpisahlah dirinya dengan mereka itu. Hal ini disuratkan di bawah ini:

Ee, karoku ßega-ßega yumalango
Yinda yufikiri kampodona umurumu
Matemo yitu tayomo papogako
Te malingu saßara manganamu
Temo duka saßara musirahamu
Wutitinayi tawa mosaganana
Wahai diriku, janganlah mabuk
Tidakkah engkau pikirkan sisa umurmu?
Kematianlah yang akan menceraikanmu
Dengan semua anakmu
Dan juga dengan semua kenalanmu
Famili atau yang lain-lainnya

5.2 Mengajari dan Menyayangi Diri Sendiri
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar senantiasa mengajari dirinya sendiri. Mengajari diri sendiri adalah lebih baik daripada diajari seribu orang guru. Ia juga menasihati dirinya agar senantiasa menyayangi diri sendiri, sebab menyayangi diri sendiri adalah lebih baik daripada disayangi orang lain. Selain itu, menasihatkan pula agar jangan mengikuti kehendak hawa nafsu, kecuali yang dinamakan nafsu radiyah dan mardiyah. Hal ini disuratkan dalam teks di bawah ini:
Ee karoku yada-yadari karomu
Nafusumu ßega-ßega yuyoseya
Tabeyanamo nafusu rayudiyah
Nafusu sarongi marudiyah
Mo sarowu guru ßemoyadariko
Yinda molawana yada-yadari karomu
Motuyapa kasina miya yitu
Yinda ßeyakawa kasina yi karomu
Wahai diriku, ajar-ajarilah dirimu
Nafsumu jangan terlalu ikuti
Kecuali nafsu radiyah
Nafsu yang dinamakan mardiyah
Walau seribu guru yang mengajarimu
Tiada bandingnya mengajari diri sendiri
Walau bagaimana kasih orang itu
Tiada bandingnya mengasihi diri sendiri

5.3 Melaksanakan Rukun Islam, Zikir, Salawat dan Salam Serta Berdoa Tengah Malam

Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar senantiasa melaksanakan sembahyang dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Demikian pula zakat fitrah jangan dilupakan yaitu dilakukan pada setiap menjelang berakhir puasa Ramadhan. Selain itu ia juga menasihatkan agar selalu berzikir, bersalawat dan salam kepada Nabi serta bangun berdoa kepada Tuhan pada setiap tengah malam. Semua itu dimaksudkan untuk menginsyafi ketidakbaikan amal. Hal ini disuratkan di bawah ini:

Ee, karoku, menturu sambaheya
Te poyasa yi nuncana Ramadani
Fitaramu Boli yumalingayeya
Palimbayiya ahirina poyasa
Zikirillahi menturuyakeya mpu
Te salawa salamu yi nabimu
Pontanga malo Bangu emani amponi
Yincafuyaka kadakina amalamu
Wahai diriku, seringlah sembahyang
Dan berpuasa pada bulan Ramadhan
Fitrahmu jangan lupakan
Keluarkan pada akhir puasa
Berzikirlah sesering mingkin
Dan salawat serta salam kepada nabimu
Tengah malam bangun minta ampun
Insyafkan ketidakbaikan amalmu

5.4 Jangan Membual dan Memfitnah Sesama
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar jangan membual dan memfitnah. Kejelekanya sangat besar yaitu pada hari kiamat akan mendapat hukuman. Semua kebaikan orang yang membual dan memfitnah diambil orang yang dibuali dan difitnah dan sebaliknya semua kejelekan orang yang dibuali dan difitnah diambil orang yang membual dan memfitnah itu. Selain itu, orang yang membual dan memfitnah itu pada hari kiamat lidahnya akan dipotong. Hal ini disuratkan di bawah ini:

Ee karoku, ßoli yumangabuya-buya
Temo duka ßoli yumangahumbu-humbu
Kadakina tabuya-buya rangata
Hari kiyama nayile ßeyu marimbi
Kadakina tahumbu miya rangamu
Yokadakina yuyala meya yingko
Yokalapena posaleya yinciya
Hari kiyama delamu ßeya totumu
Wahai diriku, jangan suka membual
Dan juga jangan memfitnah
Kejelekannya sangat besar
Pada hari kiamat kelak akan dihukum
Kejelekan membual sesamamu
Keburukannya engkau yang ambil
Kebaikannya dia yang ambil
Pada hari kiamat lidahmu akan dibakar

5.5 Mensucikan Diri
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar senantiasa mensucikan diri. Ia juga menasihatkan agar jangan merendahkan dan memandang enteng orang lain. Yang paling utama adalah selalu memikirkan kerendahan diri sendiri. Sesungguhnya manusia dan mahluk lainnya tidak berbeda asal kejadiannya, yaitu berasal dari setetes air. Demikian pula kelak akan mati, di dalam tanah akan bercampur dengan tanah kuburannya. Hal ini disuratkan di bawah ini:
Ee karoku yincamu pekangkiloya
Nganga randamu boli yumanga pipisi
Temo duka Boli yumanga pisaki
Fikiriya katambena karomu
Yuwe satiri Banamo minamu
Simbayu duka kadidi yanamako yitu
Yi nuncana tana nayile yuhancurumo
Yuposalomo te tana koburumu
Wahai diriku, sucikanlah dirimu
Niatmu jangan merendahkan orang
Dan juga jangan memandang enteng
Pikirkanlah kerendahan dirimu
Air setetes awal kejadianmu
Seperti juga mahluk lainnya
Di dalam tanah kelak engkau hancur
Bercampur dengan tanah kuburmu

5.6 Jangan Mengutamakan Kekuasaan dan Kebangsawanan
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar jangan mengutamakan kekuasaan dan kebangsawanan. Keduanya itu semata-mata hanya kebesaran dan hiasan dunia. Yang harus diutamakan adalah hati nurani yang suci. Itulah yang akan kekal sampai pada hari kemudian. Hal ini disuratkan di bawah ini:

Ee karoku, fikiriya mpu-mpu
Kakawasa tangkanamo yi duniya
Yokalaki tangkanamo yi weyi
Te malingu kabelokana duniya
Yakawaka nayile muri-murina
Yamapupumo ßari-ßariya situ
Tangkanamo totona yinca mangkilo
ßemolagina nayile muri-murina  
Wahai diriku, pikirkan betul-betul
Kekuasaan hanya ada di dunia
Kebangsawanan hanya ada di sini
Dan segala kebesaran hiasan dunia
Sampai pada hari kemudian
Habislah semua itu
Hanya hati nurani yang suci
Yang kekal abadi                 

5.7 Kejelekan Fitnah Dunia
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar menghindari kejelekan fitrah dunia. Fitnah dunia bagaikan orang berlayar yang tidak kekal di negeri tempat berdagangnya. Dunia ini adalah tempat yang berubah, sebagaimana diuraikan oleh hadist nabi, Siapa-siapa yang tidak mempercayainya sesungguhnya orang itu kafir. Hal ini disuratkan di bawah ini:

Ee karoku togasaka mpu-mpu
Yokadakina fitanana Duniya
Pamana ßose padaka yuhelamo
Yinda ßeyulagi yi lipu podagamu
Duniya si mboresa momarungga
Totula-tula yi hadisina nabi
Yincema-yincema miya moperawasiya
Satotuna miya yitu kafiri
Wahai diriku, berpasralah betul-betul
Kejelekan fitnah dunia
Bagaikan berlayar tidak lama lagi bertolak
Tidak akan kekal di negeri perdaganganmu
Dunia ini tempat yang berubah
Diceritrakan di dalam hadits nabi 
 Siapa-siapa yang tidak mempercayainya 
 Sesungguhnya orang itu kafir

5.8 Bertawakal dan Berpegang pada Kata-Kata Nabi
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar senantiasa bertawakal dan berpegang pada kata-kata nabi. Dikatakan bahwa dunia ini adalah tempatnya kesalahan. Banyak sekali racun yang membinasakan. Racun itu berasal dari pendengaran, penglihatan dan penciuman. Hal itulah yang sampai pada perasaan yang senantiasa menghukum hati yang baik. Nafsu yang tidak baik berada di antara kedua tulang rusuk dan itulah musuh yang kekal. Untuk melawan musuh seperti itu, harus melaksanakan zikir sesering mungkin dan hati senantiasa dibuat agar takut kepada perintah Tuhan yang Mahakuasa. Hal ini disuratkan di bawah ini:

Ee karoku tawakala mpu-mpu
Pengkenisi ajanji mina i nabi
Dunia si mboresana karimbi
Aßari mpu racu ibinasaka
Ominana racu ibinasaka
Oporango, opokamata opebou
Si tumo mokawana i manisi
Morimbitina incamu momalapena
Mboresana nafusu momadaki
Polotana rua mbali lupe-lupe
Si tumo ewalina molagina
Motopenene incana karota si
Kaewangina ewali incia itu
Zikirillahi menturu akea mpu
Incamu itu pekaekaia mpu
Iparintana Oputa Momakana
Wahai diriku, tawakallah betul-betul
Peganglah janji nabi
Dunia ini tempatnya kesalahan
Banyak sekali racun yang membinasakan
Asalnya racun yang membinasakan
Pendengaran, penglihatan, penciuman
Itulah yang sampai pada perasaan
Yang menghukum hati yang baik
Tempat nafsu yang tidak baik
Di antara kedua tulang rusuk
Di situlah musu yang kekal
Yang baik pada diri kita
Untuk melawan musuh seperti itu
Berzikirlah sesering mungkin
Hatimu berbuatlah menjadi takut
Pada perintah Tuhan Yang Mahakuasa

5.9 Sering Mendengarkan Pengajaran
Sultan Muhammad Idrus menasihati dirinya agar selalu mendengarkan pengajaran, terutama pengajaran dari orang-orang saleh. Ia menegaskan, yang namanya ajaran untuk kebaikan wajib didengarkan meskipun asalnya dari mulut orang gila bahkan dari mulut binatang sekalipun. Sabda Nabi Muhammad: Ambillah kalian ilmu itu meskipun berasal dari mulut binatang demi menuju jalan kebaikan. Hal ini disuratkan di bawah ini:

Te umenturu rango oni malape
Kadarina paimia salihi
ßoli panganta ßeu rango kadari
ßara salana betao bahagiamu
Osea mpu saro i malapeaka
Malinguaka oni i rangomu itu
Kawanamo mina i momagilana
Neo itumo saro imalapeaka
Akonimo hatimi rusuli 
Muhammadi saidina anbia
Alea komiu katau itu
Hengga katau i mulutina binata
Neo itumo giu imalapeaka
Seringlah mendengar kata-kata yang baik
Ajaran dari orang yang saleh
Jangan bosan mendengarkan ajaran
Siapa tahu untuk kebahagiaanmu
Ikuti betul yang namanya kebaikan
Segala kata yang engkau dengarkan itu
Walaupun asalnya dari orang gila
Kalau sudah itu yang menjadikan kebaikan
Bersabda rasul yang penghabisan
Muhammad penghulu segala nabi
Ambillah kalian ilmu itu
Meskipun dari mulut binatang
Demi menuju pada kebaikan