Foto-Foto

Foto-Foto
Kebudayaan Kerajaan Tiworo

Senin, 28 Januari 2013

UNDANG-UNDANG BARATA


UNDANG-UNDANG BARATA

              Yang disebut Barata ialah Muna, Tiworo, Kalingsusu, dan Kaedupa. Keempatnya lazim dalam adat dengan nama “Barata Patapalena”. Masing-masing Barata mendapat kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan undang-undangnya tersendiri yang disebut “Syarana Barata”. Syarana Barata dimaksud dan ditetapkan oleh syara Kerajaan (Buton) dengan mengindahkan keadaan dari Barata itu sendiri.
              Pada tiap Barata diadakan pula jabatan-jabatan adat yang nama atau gelarnya seperti yang terdapat pada syara Kerajaan, tetapi tidak lengkap seperti susunan jabatan pada syara Kerajaan. Kecuali digabungkan semuanya dari keempat Barata tersebut barulah terdapat semua gelar jabatan yang ada pada syara Kerajaan.
              Perhatikan misalnya di Barata Muna hanya terdapat gelar jabatan Kapitaraja, di Tiworo Sapati, di Kalingsusu dan di Kaedupa Menteri Besar. Untuk jelasnya lihat susunan pegawai Barata tersebut di bawah ini :
MUNA
1.     Lakina Wuna (Raja Muna)
2.     Kapita raja; 2 orang
3.     Menteri Besar; 2 orang
4.     Intarano Bitara; 1 orang
5.     Patakhoerano; 4 orang masing-masing :
a.     Mione Tongkuno
b.     Mione Lawa
c.     Mione Kabawo
d.     Mione Katubo.



TIWORO
1.     Lakina Tiworo (Raja Tiworo)
2.     Sapati
3.     Mione Lasiapamu
4.     Mione Lawa
5.     Sabandara
KALINGSUSU
1.     Lakina Kalingsusu  (Raja Kalingsusu)
2.     Kenepulu
3.     Menteri Kampani
4.     Menteri Kancua-ncua
5.     Kapitana Lipu
KAEDUPA
1.     Lakina Kaedupa (Raja Kaedupa)
2.     Bonto Ogena 2 orang
3.     Menteri Kiwolu
4.     Menteri Tapaa
5.     Menteri Suludadu 2 orang
Pada umumnya tugas kewajiban anggota syara dari Barata sama dengan tugas anggota syara Kerajaan, selama tidak keluar dari daerah kekuasaannya. Tetapi Lakina Barata tidak disembah seperti halnya dengan Sultan Buton.
Kewajiban utama dari Barata adalah :
1.     Menjaga musuh Kerajaan Buton yang karena itu Barata selalu siap-sedia dengan peralatan perangnya baik darat maupun laut.
2.     Apabila Barata mendapat serangan maka tiap Barata lebih dahulu berusaha sendiri untuk menangkisnya, kecuali tidak dapat dilawannya baru meminta bantuan dari syara Kerajaan Buton. Sebab itu pula Barata disebut wabaluara artinya penjaga.
3.     Kalau ada orang Kompeni, Bone dan Ternate yang hanyut atau pecah perahunya atau mendapat kecelakaan, maka Barata berkewajiban untuk memberikan pertolongan pertama, kemudian segera diantar kepada syara Kerajaan. Jaminan keamanan ataupun tumpangan menjadi tanggungan Barata, demikian pula keselamatan barang-barangnya wajib diberikan perlindungan. Apabila hanya barang-barang yang dapat dan tidak ada pemiliknya jelasnya tidak diketahui orangnya, maka karena hukum adat barang itu termasuk “rampe” yang menjadi hak Sultan Buton.
4.     Kalau ada pelarian dari luar daerah asal bangsawan harus segera diserahkan kepada Sultan Buton.
5.     Kaum bangsawan dari ketiga kamburo-mburo, yaitu Tanailandu, Tapi-tapi, dan Kumbuweha serta anak dari kaum walaka khususnya anak Siolimbona, syara Barata tidak berhak untuk menjatuhkan hukuman mati kepada mereka. Walaupun mereka itu membuat kesalahan yang diancam dengan hukuman mati, ataupun diberikan hukuman paksa dalam kata adat dikatakan bea pomurusia atau hukuman pengasingan, yaitu bea papasia dan segala bentuk hukuman melainkan dengan izin dan diketahui Peropa dan Balawu.
6.     Syara Barata tidak dibenarkan untuk menjatuhkan hukuman kepada Kompeni, Bone dan Ternate serta segala bangsa yang berkulit putih dalam bahasa adat dikatakan Mia Maputiseperti Inggirisi = Inggris, Parancumani = Perancis, dan Portugisi = Portugis, kecuali melaporkannya kepada syara kerajaan.
7.     Syara Barata tidak diperkenankan untuk mengadakan hubungan dengan Kompeni, Bone, dan Ternate apabila tidak dengan cap dan tanda tangan Sultan Buton jelasnya ada surat kuasa.
8.     Kalau ada perutusan dari syara Kerajaan Buton yang berada di dalam Barata diwajibkan kepada syara Barata untuk memberikan bantuan atas segala keperluan dari peraturan itu. Dalam adat kewajiban ini disebut balabua dan pasubuake.
9.     Kalau Barata mendapat undangan dari syara Buton maka wajib segera memenuhi undangan itu.
10.  Apabila Barata mendapat berita bahwa ada musuh yang kuat yang akan menyerang kerajaan segera disampaikan kepada syara Buton.
11.  Apabila Kapitaraja dari Buton berada di Barata karena tugasnya melakukan perlawanan terhadap musuh kerajaan atau karena keperluan lain maka pada waktu itu Kapitaraja yang berkuasa untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan kewajiban Lakina Barata serta syaranya sesudah diketahui oleh Lakina Barata.
12.  Apabila ada pelarian orang hukuman dari syara Kerajaan Buton tidak diperkenankan kepada Barata untuk memberikan perlindungan kepada pelarian itu tetapi segera ditangkap dan diantar kepada syara Buton.
13.  Apabila sementara Kapitaraja berada di Barata kemudian Barata itu mendapat serangan dari musuh, maka Lakina Baratalah yang menghadapinya lebih dahulu serangan itu kemudian baru Kapitaraja.
14.  Barata berkewajiban untuk membimbing rakyatnya demi kemajuan dan kemakmurannya seperti yang dimufakati  oleh Peropa dan Baluwu dengan dalih “Lakina Barata meniru-niru adilnya Sultan Buton dan kekuatan syara kerajaan” artinya dapat menjatuhkan hukuman kepada rakyatnya yang melakukan kesalahan sampai kepada hukuman mati sekalipun.
15.  Syara Barata diwajibkan memperhatikan hal-hal yang tersebut dibawah ini :
a.     Tidak dapat syara Barata berbuat yang bertentangan dengan syara Kerajaan artinya melawan Peropa dan Balawu.
b.     Tidak dibenarkan antara Barata berselisihan dan rampas-merampas kemerdekaan satu sama lain.
c.     Apabila terdapat perselisihan wajib disampaikan kepada syara Kerajaan untuk mendapatkan penyelesaian.
d.     Penyelesaian yang diambil oleh syara Kerajaan merupakan keputusan yang mengikat artinya harus dipatuhi.
16.  Barata berkewajiban pula untuk mengadakan patroli pengawasan pantai dalam wilayah Kerajaan Buton dan di tempat mana mereka berlabuh karena kehabisan perbekalan harus dengan segera pula disampaikan kepada syara Kerajaan guna mendapatkan bantuan seperlunya. Oleh karena kewajiban patroli inilah maka Lakina Barata digelari “Kapitaraja Patamiana” artinya “Kapitaraja yang 4 orang”. Juga diperkenankan memakai dayalo dantombipagi selaku tanda pengenal dengan ketentuan apabila tumpangannya telah diperkirakan sudah kelihatan dari ibukota Kerajaan yaitu Wolio maka dayalo dantombipagi tersebut diturunkan. Apabila bertemu dengan perahu asing tidak dapat mengadakan hubungan kalau belum ada izin dari syara Kerajaan.
17.  Semua pedagang asing tidak dapat diminta lowo artinya diminta suatu pembayaran atau bea Lakina Barata, Kapitaraja atau pembesar lainnya dari Kerajaan sebelum ada izin dari Sultan.
18.  Pedagang-pedagang dari Buton yang berdagang di Barata tidak dibenarkan untuk tinggal di Barata tanpa ada suatu keterangan dari Sultan Buton yang resmi disertai cap dan tanda tangan.
19.  Apabila maradika dari Buton kawin dengan perempuan dari Barata maka hukum anaknya tidak dibagi kecuali maskawin yang dibayar oleh si laki. Karena itu di Buton dipandang sebagai kaula Buton dan sebaiknya di Barata sebagai warga Barata. Apabila ada seorang laki-laki yang berasal dari papara syara Buton kawin dengan perempuan dari Barata bukan asal anak menteri atau bangsawan hukum anaknya “dibagi”. Apabila si laki berasal dari keturunan Barata beristrikan perempuan asal papara syara Buton, hukum anaknya tidak dibagi karena si laki dipandang bersalah dan harus dikenakan hukuman mati kecuali ada permintaan dari keluarga perempuan.
20.  Kalau Sareani = Belanda berjalan-jalan di Barata wajib bagi Barata untuk menjaga keselamatannya dan memberikan bantuan.
21.  Apabila ada kesukaran besar dari Barata yang perlu disampaikan kepada Sultan Buton harus menyampaikannya melalui Menteri Gampikaro dan tidak boleh melalui perantaraan yang lain.
22.  Jawana Barata tiap tahun.
(1)  Muna; 40 boka = Rp. 48. Kalau tidak disanggupi pembayarannya dengan mata uang dapat diganti dengan 1 orang budak.
(2)  Tiworo; sama dengan Muna. Jawana Muna dan Tiworo menjadi penghasilan dari anggota syara Kerajaan tidak termasuk Sultan
(3)  Kalingsusu; 45 boka = Rp. 54. Kalau tidak disanggupi pembayarannya dengan mata uang dapat diganti dengan 1 orang budak dan 24 lembar kain Langkobida.
(4)  Kaedupa; 80 boka = Rp. 96. Kalau tidak disanggupi dengan mata uang maka dapat diganti dengan 2 orang budak. Jawana Kalingsusu dan Kaedupa menjadi penghasilan Sultan Buton.
              Undang-undang Barata ini dibaharui pada masa Sultan Buton Muhammad Idrus Kaimuddin, Sultan yang ke 29, dalam tahun 1257 H atau tahun 1838 M yang ditandatangani oleh seluruh pembesar Kerajaan bersama Lakina Barata dan masing-masing :
1.     Muh. Idrus Kaimuddin, Sultan;
2.     La Ode Tobelo, Sapati;
3.     La Ode Kosarana, Kenepulu;
4.     La Ode Tia, Kapitaraja;
5.     La Ode Ismail, Kapitaraja merangkap Raja Muna;
6.     La Ode Muhammad, Raja Tiworo;
7.     La Ode Manja, Raja Kalingsusu;
8.     La Ode Adam, Raja Kaedupa;
9.     La Peropa, Menteri Besar Matanayo;
10.  Haji Abdul Rakhim, Menteri Besar Sukanayo;


Sumber :
A.M. Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton)Jilid I, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 1977 (hal. 99-105).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar